Jakarta (ANTARA) - Ketua Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Jakarta Inarno Djajadi menilai perlu kajian kebijakan energi yang lebih komprehensif untuk memastikan transisi yang berkelanjutan dari energi fosil menuju energi baru terbarukan atau EBT.
Menurut Inarno, krisis energi yang terjadi di sejumlah negara seperti China, Inggris, Jerman, Prancis, Italia, hingga menyebar ke India, menunjukkan bahwa proses pengembangan EBT yang kurang optimal pada saat kebutuhan energi di sektor riil masih tinggi, dapat menjadi masalah.
"Tentunya ditambah lagi dengan dampak sosial transisi implementasi EBT atas jutaan orang yang bekerja di sektor terkait energi fosil. Oleh karena itu, kebijakan energi ke depan perlu lebih dikaji dengan lebih komprehensif demi memastikan proses transisi yang berkeadilan dan berkelanjutan," ujar Inarno dalam sebuah diskusi virtual yang dipantau di Jakarta, Kamis.
Baca juga: Pemerintah komitmen bangun infrastruktur energi berkelanjutan
Pada 2021, tantangan dari pandemi COVID-19 masih belum berakhir. Pandemi tidak hanya membawa dampak negatif terhadap aspek ekonomi dan bisnis, tapi juga hampir semua aspek sosial kehidupan.
Di sisi yang sama, pandemi telah mendorong masyarakat global maupun dalam negeri untuk semakin sadar pentingnya aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola atau Environmental, Social, and Governance (ESG).
Ancaman perubahan iklim dan menurunnya kualitas serta dukungan lingkungn menjadi isu yang dihadapi bersama oleh seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Baca juga: ADB-PLN kerja sama wujudkan target energi bersih di Indonesia
Inarno menyampaikan, ancaman-ancaman tersebut jikta tidak diatasi akan menjadi penghambat pembangunan berkelanjutan dalam jangka panjang. Hal itu juga dapat memperbesar risiko dan biaya yang harus dikeluarkan dalam menghadapi krisis yang dapat bertambah menjadi lebih besar di masa depan.
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 yang diselenggarakan di Roma, Italia, pada akhir Oktober 2021 lalu telah menghasilkan teks deklarasi dari para pemimpin negara. Pada isu energi dan perubahan iklim, sepakat untuk mengurangi emisi karbon dan penetapan time frame menuju net zero emission, serta untuk transisi energi diperlukan kerja sama internasional.
Selain itu, Indonesia juga berhasil memasukkan prinsip common but differentiated responsibilities (CBDR) dalam konteks energi dan iklim. Dalam konteks tersebut, Indonesia menekankan pentingnya pemenuhan komitmen pembiayaan iklim dari negara maju untuk negara berkembang. Indonesia memasukkan pentingnya pemenuhan komitmen pembiayaan iklim 100 miliar dolar AS dari negara maju untuk negara berkembang dan pembentukan digital economy working group.
"Para pemimpin G20 membuat rencana untuk membatasi emisi dan berjanji akan menghentikan pembiayaan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara pada akhir 2021. Beberapa negara telah melakuakn proses transisi penggunan energi fosil menuju energi baru terbarukan, termasuk indonesia. Presiden juga dengan jelas memaparkan bahwa indonesia harus siap menghadapi hal ini. Kita memiliki begitu banyak sumber daya. Kita memiliki sungai, bisa untuk hidropower, geotermal, arus bawah laut dan angin yang luar biasa. Ini semua sebetulnya adalah sumber-sumber kita yang luar biasa," kata Inarno.
Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2021