Bandarlampun (ANTARA News) - Sejumlah wartawan di Bandarlampung berharap kebijakan penerapan sistem kompetensi wartawan tidak menjadi lahan korupsi dan kolusi baru, utamanya bagi lembaga yang berwenang memberikan sertifikasi kompetensi.
"Sertifikasi kompetensi itu ibarat SIM untuk menjadi wartawan, apabila tidak ada pengawasan secara ketat akan potensial menimbulkan praktek penyuapan oleh peserta agar mereka bisa memperoleh sertifikasi," kata salah seorang wartawan, Eni Muslihah, di Bandarlampung, Sabtu.
Menurut dia, sistem pengawasan uji kompetensi harus dilakukan secara benar dan terpola oleh Dewan Pers, agar segala upaya untuk melakukan penyuapan demi kelolosan dalam tes uji kompetensi wartawan bisa dicegah.
Sementara itu, wartawan lainnya, yang juga menjabat sebagai sekretaris Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Bandarlampung Fadli Ramdan, meminta Dewan Pers tidak begitu mudah mengeluarkan izin pada sebuah lembaga untuk menjadi pihak yang melakukan uji kompetensi kewartawanan.
"Pemberian izinnya harus diperketat, jangan seolah mengejar jumlah wartawan dengan standar kompetensi yang mumpuni dalam jumlah tertentu, pemberian izin lembaga kompetensinya dibuat sangat mudah bak menjual kacang goreng," kata dia.
Menanggapi hal tersebut, saat dihubungi ANTARA, Ketua Komisi Hukum dan Pemberdayaan Dewan Pers Wina Armada Sukardi,menyatakan kecil kemungkinan adanya praktek korupsi dalam pemberian sertifikat kompetensi wartawan.
"Itu ketakutan yang sangat beralasan, namun kami berusaha agar praktek korupsi dan kolusi tidak terjadi," kata dia.
Wina mengatakan,Dewan Pers akan melakukan pengawasan penuh terhadap lembaga yang melakukan uji kompetensi kewartawanan, termasuk pemberian sanksi tegas apabila lembaga tersebut melakukan pelanggaran.
"Kami akan cabut izinnya apabila terbukti jelas melakukan hal itu," kata dia.
Sejumlah perusahaan pers, organisasi kewartawanan, dan lembaga pendidikan pers, atau perguruan tinggi yang memiliki jurusan komunikasi, boleh mendaftarkan diri menjadi lembaga penguji kompetensi wartawan.
Wina menjelaskan, untuk perusahaan pers sejumlah syarat yang harus dipatuhi agar dapat menjadi lembaga uji kompetensi diantaranya minimal sudah berdiri sepuluh tahun dan memiliki lembaga pelatihan internal untuk wartawan mereka minimal lima tahun.
Sedangkan untuk organisasi kewartawanan, sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi diantaranya adalah memenuhi standar organisasi wartawan yang ditetapkan Dewan Pers.
Dia melanjutkan, selain kedua lembaga tersebut, sejumlah lembaga lain juga dapat menjadi lembaga penguji kompetensi wartawan dengan beberapa persyaratan khusus, diantaranya perguruan tinggi yang memiliki program studi komunikasi jurnalistik dan lembaga pendidikan kewartawanan.
Selain itu, dia melanjutkan, khusus untuk perguruan tinggi yang memiliki program studi komunikasi jurnalistik, harus memiliki praktisi pers di kampus tersebut minimal tiga orang, untuk dapat mengajukan diri menjadi lembaga penguji kompetensi wartawan.
Standar Kompetensi Wartawan telah disahkan oleh Dewan Pers dan diratifikasi oleh perusahaan pers pada Hari Pers Nasional 2010 di Palembang, dan akan efektif berlaku pada 2013 mendatang.
Dalam draf final standar kompetensi wartawan, disebutkan bahwa, standar itu dibutuhkan untuk melindungi kepentingan publik dan pribadi.
Sedangkan pada sisi lain juga dipakai untuk menjaga kehormatan pekerjaan wartawan dan bukan malah untuk membatasi hak asasi warga negara menjadi wartawan.
Disebutkan pula, standar kompetensi wartawan berisi rumusan kemampuan kerja yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan dan keahlian, serta sikap kerja yang relevan dengan pelaksanaan tugas kewartawanan.
Selain itu, dalam standar kompetensi wartawan juga nantinya akan terdapat mekanisme pengujian kompetensi, yang pelaksanaannya dilakukan oleh lembaga-lembaga, mulai dari perguruan tinggi yang memiliki program studi komunikasi atau jurnalistik, lembaga pendidikan kewartawanan, perusahaan pers, dan organisasi wartawan.
Seluruh lembaga yang berhak menguji itu harus terlebih dahulu memenuhi kriteria Dewan Pers.
Lembaga penguji menentukan kelulusan wartawan dalam uji kompetensi, sedangkan Dewan Pers mengesahkan kelulusan uji kompetensi tersebut.
Para peserta yang berhak mengikuti ujian itu adalah wartawan, yang nantinya setelah dinyatakan lulus akan dikategorikan dalam tiga jenjang, yaitu muda, madya, dan utama.
Masing-masing jenjang dapat dijalani setidaknya dua sampai tiga tahun untuk kemudian wartawan yang bersangkutan berhak ikut ujian ke tingkat yang lebih tinggi.
Publik juga diharapkan dapat mengetahui dan menilai kompetensi seorang wartawan sehingga dapat dengan mudah membedakan wartawan yang profesional maupun bukan.
Publik secara tegas juga dapat menyikapi keberadaan wartawan tanpa surat kabar atau wartawan gadungan serta mereka yang mengaku berprofesi wartawan, namun tidak menjalankan tugas sebagaimanamestinya. (AGH/K004)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011