Yogyakarta (ANTARA News) - Bencana erupsi Gunung Merapi 2010 telah meluluhlantakkan lebih dari 31 dusun di lima desa di Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Sebanyak 2.613 kepala keluarga (KK) kehilangan tempat tinggalnya, selain itu juga dampak sekunder berupa banjir lahar dingin telah mengakibatkan kerusakan 142 unit rumah warga dan kerusakan sarana dan prasarana lingkungan seperti jembatan, bendung, gorong-gorong, dan jalan desa.

Ribuan korban bencana erupsi Gunung Merapi tersebut saat ini sebagian besar telah menghuni "shelter" atau hunian sementara di masing-masing desa.

Berdasar data dari Disnakersos, tercatat sebanyak 2.290 "shelter" dari 2.613 hunian sementara yang telah disediakan sudah dihuni sedangkan pengungsi lain masih berada di barak pengungsian masing-masing.

Para korban bencana Merapi ini sampai saat ini masih menunggu kepastian terkait dengan rencana relokasi setelah tanah warisan leluhur mereka ini dinyatakan kawasan bahaya dan tidak boleh untuk hunian tetap.

Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamangku Buwono X mengatakan, masih menunggu keputusan pemerintah pusat terkait kebijakan rehabilitasi dan rekonstruksi daerah terdampak bencana meletusnya Gunung Merapi.

"Menunggu surat dari pusat untuk mengeluarkan surat keputusan guna mengatur tata ruang. Saya kan perlu hasil rapat keputusan ini sebagai dasar untuk mengeluarkan kebijakan, mana yang harus dikosongkan atau yang tidak dimungkinkan pemukiman harus relokasi," katanya usai rapat rekonstruksi dan rehabilitasi Merapi di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Jumat (15/4).

Surat keputusan pemerintah tersebut, menurut Sultan akan menjadi dasar hukum bagi Bupati Sleman, Yogyakarta, dalam menata kembali wilayahnya yang terkena dampak meletusnya Gunung Merapi.

"Yang penting kita punya kekuatan hukum supaya Bupati Sleman bisa mengeluarkan kebijakan karena berkaitan dengan rancangan tata ruang wilayah (RTRW)," katanya.

Sultan mengatakan, daerah yang terdampak sampai saat ini masih belum direkonstruksi. Para pengungsi yang direlokasi saat ini berada di hunian sementara yang didirikan pemerintah. Huntara tersebut rencananya akan dijadikan rumah permanen bagi mereka yang daerahnya terkena relokasi.

"Warga yang kehilangan rumah sekarang tinggal di huntara, kita bangunkan rumah di tempat yang sama. Belum ada rekonstruksi, baru huntara. Nanti kalo menjadi lokasi untuk rumah tetap, ya di situ secara bertahap dibangunkan rumah permanen," katanya.

Sultan menambahkan, untuk daerah-daerah yang berada di puncak merapi seperti Kinahrejo akan dikosongkan dan penduduknya di relokasi.

"Kinahrejo mungkin direlokasi karena tidak mungkin dihuni lagi, jadi harus kosong," katanya.

Sementara itu, pemerintah memperkirakan kebutuhan dana untuk rehabilitasi dan rekonstruksi untuk bencana merapi mencapai Rp1,35 triliun, untuk jangka waktu 2011-2013. Kebutuhan dana ini untuk membangun kembali lima sektor dan subsektor yang rusak.

Ke lima sektor itu adalah perumahan Rp247 miliar, infrastruktur Rp417,7 miliar, ekonomi Rp222,2 miliar, sosial Rp149.3 miliar dan lintas sektor Rp314,6 miliar.

Saat melakukan peninjauan di lokasi bencana erupsi di Dusun Kopeng, Desa Kepuharjo, Cangkringan (Rabu 13/4) Sultan menegaskan konsep kawasan rawan bencana dengan sistem radius tidak akan diterapkan lagi di lereng Gunung Merapi, Kabupaten Sleman. "Penentuan kawasan bahaya Merapi akan dibuat lebih tegas lagi," katanya.

Menurut dia, pembagian yang tegas tersebut meliputi, kawasan bahaya yang jelas tidak boleh untuk hunian warga, kawasan bahaya namun boleh dihuni dengan konsekuensi jika terjadi peningkatan aktivitas Merapi harus bersedia mengungsi.

"Selain itu kawasan yang memang benar-benar aman untuk hunian, jadi tidak lagi atas dasar radius yang ditarik garis lurus, tetapi atas dasar potensi ancaman bahaya di masing-masing wilayah, baik ancaman awan panas maupun lahar dingin. Saat ini pembahasan mengenai peta wilayah bahaya tersebut belum selesai digarap," katanya

Ia mengatakan, kawasan yang masuk dalam kategori bahaya dan tidak boleh ditinggali, harus ditaati oleh masyarakat.

"Namun untuk kawasan yang masih boleh ditinggali, harus ada ada komitmen dari warga lereng Merapi, jika ada himbauan dari pemerintah untuk mengungsi, maka harus dipatuhi juga. Ada toleran yang terpenting meminimalisir korban," katanya.


Jadi Hunian Tetap

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Syamsul Maarif saat dialog dengan warga masyarakat Kepuharjo, Cangkringan Selasa (12/4) di balai pertemuan "shelter" (hunian sementara) Gondang I menyatakan dusun yang masuk kawasan bahaya wajib relokasi.

"Meskipun rancangannya belum sempurna, yang jelas lokasi relokasi tidak terlalu jauh dengan lokasi `shelter` yang saat ini ditempati masyarakat korban erupsi Merapi agar masyarakat tidak terlepas dari budaya asli," katanya.

Ia mengatakan, dimungkinkan lokasi "shelter" menjadi tempat relokasi juga hunian tetap, tetapi bentuk dan desain bangunan dirubah agar memenuhi kelayakan dan juga adanya penambahan fasilitas umum.

"Ditambahkan pula bahwa korban erupsi merapi harus diberi kepercayaan untuk mengatur dan menyelesaikan persoalan, tetapi harus tetap diberi pendampingan agar memenuhi standar kelayakan," katanya.

Disamping itu agar memenuhi kelayakan hunian tetap nanti fasilitas yang harus ada antara lain harus ada kandang ternak, jalan kampung yang memenuhi standar dan fasilitas umum lainnya termasuk ruang publik.

"Sedang untuk kawasan yang tidak untuk hunian akan dipertimbangkan statusnya antara lain bisa juga menjadi hutan lindung ataupun menjadi taman nasional. Dari pilihan tersebut semuanya mengandung konsekuensi masing-masing, tetapi harus bisa diakses masyarakat untuk peningkatan ekonomi masyarakat," katanya.


Selesai Akhir April

Pembangunan "shelter" atau hunian sementara untuk seluruh korban bencana erupsi Gunung Merapi di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta dijadwalkan selesai pada akhir April 2011.

Plt Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Sleman Urip Bahagia mengatakan dari rencana 2.613 "shelter" yang dibangun telah selesai sekitar 94,6 persen.

"Ada beberapa kendala yang menjadi penghambat pembangunan `shelter`, yakni kebutuhan bambu untuk dinding, iklim ekstrem dan masih sering turun hujan deras hingga menghambat pekerjaan dan masalah penetapan tanah," katanya.

Ia mengatakan, untuk memenuhi kebutuhan bambu pihaknya harus mencari hingga Tasikmalaya, Jawa Barat dan Jawa Timur. "Ini salah satu penyebab pembangunan `shelter` sampai molor beberapa bulan," katanya.

Urip mengatakan, untuk penetapan lahan di Desa Glagaharjo hampir semua wilayah masuk dalam Kawasan Rawan Bencana (KRB) III, hingga tidak boleh untuk hunian warga.

"Namun akhirnya `shelter` kami bangun di daerah yang paling aman di Dusun Jetis Sumur dengan berbagai kesepakatan yang berisi komitemen warga untuk mau segera dievakuasi jika ada peningkatan aktivitas Gunung Merapi," katanya.

Ia mengatakan, untuk pembangunan "shelter" korban banjir lahar dingin ada 46 unit yang meliputi korban di Desa Argomulyo ada 36 rumah dan di Desa Sindumartani 10 buah.

"Rencananya `shelter` untuk korban banjir lahar dingin ini akan dibangun di Dusun Ketingan dan Kuwang, Desa Argomulyo. Untuk rumah warga lain yang terkena lahar dingin, setelah dibersihkan masih layak untuk ditinggali," katanya.

Lebih lanjut ia mengatakan, terkait wacana "shelter" yang merupakan tempat hunian sementara korban erupsi segera dijadikan tempat relokasi dan hunian tetap pihaknya belum bisa memastikan.

"Karena keterbatasan lahan yang statusnya masih tanah kas desa, maka rencana tersebut akan dipertimbangkan dan dikaji kembali. Belum pasti `shelter` jadi hunian tetap, namun memang ada wacana kearah tersebut," katanya.

Wakil Ketua DPRD Sleman Rohman Agus Sukamto menegaskan perlunya tata ruang yang bersifat elastis seta memperhatikan dimensi waktu.

"Prinsip kekerabatan dalam menempatkan dan penataan hunian baru juga harus diperhatikan agar hubungan sosial tetap terpelihara," katanya.

Koordinator Walhi DIY Suparlan mengatakan pemerintah harus mengedepankan rehabilitasi berbasis hak, dan bukan hanya menjadi bagian dari program semata.

"Kebutuhan pengungsi tidak hanya `shelter` tetapi meliputi juga masalah kesehatan, air, sanitasi dan pangan," katanya. (V001/Z002/K004)

Oleh Oleh Victorianus Sat Pranyoto
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011