Nanti kita bisa bantu dan kalau berhasil kita bisa sharing property right dan kita lisensi kembaliJakarta (ANTARA) - Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksana Tri Handoko mengatakan pihaknya mendorong pihak swasta masuk ke dalam aktivitas riset dengan investasi seminimal mungkin.
"Bagaimana BRIN bisa membantu semua pihak termasuk kementerian/lembaga, membantu para pelaku usaha untuk bisa masuk ke aktivitas riset dengan investasi yang seminimal mungkin, karena riset itu mahal, high cost dan high risk," kata Handoko dalam pembukaan Indonesia Electric Motor Show (IEMS) 2021 secara hybrid yang diikuti ANTARA di Jakarta, Rabu.
Handoko menuturkan riset merupakan investasi mahal yang berisiko tinggi (high cost dan high risk), padahal riset belum tentu berhasil sehingga tidak banyak swasta ingin terlibat mengambil risiko yang besar tersebut.
Baca juga: BRIN adakan IEMS 2021 dukung inovasi teknologi KBLBB
Oleh karenanya, negara melalui BRIN harus hadir untuk mendukung dan memfasilitasi kegiatan riset sehingga dapat meningkatkan peran swasta dalam aktivitas riset.
"Untuk yang high cost dan high risk inilah pemerintah harus hadir, dan untuk itulah BRIN sebagai pemerintah hadir membantu khususnya para pelaku usaha kita untuk masuk di aktivitas riset," ujar Handoko.
Handoko mengundang para pemangku kepentingan termasuk pelaku usaha baik usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dan pengusaha besar, serta kementerian/lembaga untuk membawa masalah yang dihadapi kepada BRIN.
Baca juga: BRIN fokus tiga teknologi kunci dukung KLBB
Di BRIN, para periset dapat berupaya menjawab berbagai masalah tersebut melalui kegiatan riset, termasuk menjawab kebutuhan industri, masyarakat, pemerintah, bangsa dan negara.
Handoko mengatakan BRIN siap memfasilitasi riset dengan seluruh sumber daya yang dimiliki termasuk sumber daya manusia (SDM) dan infrastruktur riset untuk membantu memecahkan berbagai masalah yang dihadapi.
"Secara prinsip kalau dilakukan secara kolaboratif saya sediakan semuanya free of charge (gratis) termasuk SDM dan infrastruktur laboratoriumnya," tuturnya.
Baca juga: BRIN siapkan hibah uji klinis untuk banyak kandidat fitofarmaka
Jika riset berhasil, Handoko mengatakan BRIN hanya meminta pembagian hak kepemilikan (property right).
"Nanti kita bisa bantu dan kalau berhasil kita bisa sharing property right dan kita lisensi kembali," ujarnya.
Ia menuturkan sebagian lisensi dari hasil riset tersebut, yaitu minimal 60 persen dikembalikan ke negara sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan 40 persennya diberikan ke inventor atau perisetnya.
"Itu salah satu cara berbagi kebahagiaan dengan para periset," tutur Handoko.
Sementara untuk konteks pengembangan obat diantaranya fitofarmaka, obat kimia atau bakal vaksin, royalti yang diminta akan lebih besar untuk negara karena riset itu membutuhkan investasi yang lebih mahal di mana tingkat keberhasilan riset jauh lebih rendah yakni hanya 10 persen.
Jika pengembangan obat berhasil, BRIN akan meminta hingga 90 persen royalti untuk negara, sementara 10 persen atau maksimal 20 persen untuk inventor, karena negara akan berinvestasi di riset yang berisiko tinggi dan sangat mahal tersebut.
"Untuk high risk (risiko tinggi) inilah memang pemerintah kita harus hadir melalui BRIN sehingga ke depan kita berharap pelaku usaha bisa memiliki riset dan pengembangan tanpa harus investasi di awal," ujarnya.
Jika swasta sudah merasakan manfaat dan keberhasilan dari riset tersebut, Handoko optimistis swasta pada gilirannya dapat melakukan investasi secara mandiri di riset dan pengembangan.
Pewarta: Martha Herlinawati Simanjuntak
Editor: Heru Dwi Suryatmojo
Copyright © ANTARA 2021