Langkah itu ditempuh karena selama ini Kaltim merasa diperlakukan tidak adil oleh pusat. Sebagai contoh, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kaltim pada 2010 saja mencapai Rp320 triliun, namun dana yang kembali ke daerah tidak lebih dari 10 persen.
Pemerintah memberlakukan sistem ini bukannya salah karena memiliki landasan hukum kuat, yakni berdasarkan UU nomor 33 tahun 2004 yang memiliki kekuatan hukum mengikat. Barangkali yang perlu diselidiki ke belakang adalah, mengapa UU yang sangat merugikan daerah itu bisa tercetus hingga disahkan.
Inisiator Judicial Reviw (JR) terhadap UU Nomor 33/2004 Viko Januardhy menuturkan, langkah JR perlu ditempuh masyarakat Kaltim karena memiliki sejumlah alasan, di antaranya jalur lobi-lobi politik ke Departemen Keuangan, DPR, dan DPD-RI belum membuahkan hasil.
Alasan kedua adalah, biaya perjuangan melalui lobi politik untuk meminta revisi UU Nomor 33 tahun 2004 itu relatif mahal dan memerlukan waktu yang cukup panjang.
"Ketiga adalah, jalur perjuangan melalui hukum belum pernah dicoba, yaitu melalui Mahkama Konstitusi. Kami yakin peluang menang dalam menuntut keadilan ini sangat besar," ucap Januardhy.
Terpisah, anggota DPRD Kaltim Syarifah Masitah Assegaf ketika ditanya, Haruskah Kaltim melakukan JR tentang Undang-unang Nomor 33 Tahun 2004? Dengan tegas politisi dari Partai Patriot Kaltim ini menjawab, harus, bahkan wajib.
Dia mengatakan keharusan Kaltim melakukan JR karena selama ini diperlukan tidak adil oleh pemerintah pusat. Sudah saatnya Kaltim berani mengambil sikap terhadap ketidak adilan yang dilakukan oleh pusat melalui UU 33 Tahun 2004 itu.
Namun demikian, sebelum JR digelar, semua anggota DPRD Kaltim harus membulatkan suara dan sepakat untuk melakukan JR. Kebulatan suara juga haus datang dari Pemprov Kaltim, bupati, wali kota, dan para tokoh agar langkah menuju JR semakin kuat.
Menurut Syarifah, selama ini Kaltim dikenal sebagai "anak manis" yang selalu menurut terhadap berbagai kebijakan yang digulirkan pemerintah pusat, kendati kebijakan tersebut tidak menguntungkan daerah yang minim infrastruktur dan masih banyak warga yang hidup di bawah garis kemiskinan ini.
Kaltim sebutnya, harus berani bertindak menempuh JR, sebagai konsekuensinya, tentu harus berani mengeluarkan biaya besar.
Untuk itu, dia juga bersedia menyumbangkan sejumlah rupiah untuk kelancaran JR. Diharapkan pula anggota dewan lain juga bersedia menyumbang setelah ada kebulatan tekad meneruskan rencana JR.
Sebenarnya kata dia, biaya JR ini harus ditanggung oleh APBD Kaltim, namun karena yang akan dilawan ini adalah pemerintah pusat, sedangkan yang mengajukan JR adalah LSM di daerah, maka tidak diperkenankan menggunakan uang negara atau pemerintah melawan pemerintah. ?Masak jeruk makan jeruk,? ujarnya bercanda.
Dana untuk JR juga diharapkan bukan hanya dari uang pribadi anggota DPRD Kaltim, namun juga dari uang pribadi pejabat di Kaltim, para bupati dan wali kota beserta para pejabatnya, dan anggota dewan di masing-masing daerah, pasalnya JR bukan hanya untuk provinsi, namun juga untuk semua daerah dan elemen masyarakat yang tersebar di 14 kabupaten dan kota.
Politisi yang juga wartawan ini menjelaskan bahwa dibutuhkan alasan kuat sebelum mengajukan JR, pasalnya data yang diberikan oleh tim inisiator JR masih perlu diperkuat dengan berbagai fakta dan data yang akurat.
Tujuan penguatan data adalah, agar Kaltim bisa menang dan tidak malu karena memiliki data dan fakta di lapangan tentang kondisi sebenarnya yang terjadi di Kaltim.
Menurutnya, UU Nomor 33 Tahun 2004 dinilai tidak adil karena memberikan porsi pembagian yang jauh dari ideal.
Dia juga memprediksi bahwa pemerintah akan berlindung dalam UUD 1945 pada Pasal 18 a ayat 2 yang menyatakan, bahwa hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan daerah dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan Undang-undang.
Seperti diketahui, pada Pasal 14 huruf e UU 33 Tahun 2004 menyatakan, bahwa penerimaan pertambangan minyak bumi dari wilayah daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya, sesuai dengan peraturan perundang-undangan dibagi dengan imbangan 84,5 persen untuk pemerintah pusat, dan yang 15,5 persen ke pemerintah daerah.
Sedangkan pada Pasal 14 huruf f UU 33 Tahun 2004 menyatakan, penerimaan pertambangan gas bumi dari wilayah daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan dibagi dengan perimbangan 69,5 persen untuk pusat, dan 30,5 persen ke untuk daerah.
Pembagian tersebut dinilai tidak menguntungkan Kaltim sebagai daerah yang telah dieksploitasi sumber daya alamnya, namun tidak adanya kotribusi signifikan. Padahal, setiap daerah yang dieksploitasi, pasti alamnya akan hancur.
Berangkat dari hal itu, maka Kaltim harus meminta agar pasal 14 huruf e dan f UU 33 Tahun 2004 direvisi menjadi 50 persen perimbangan bagi pusat dan yang 50 persen dibagikan pada pemerintah daerah.
Sedangkan Asisten IV Bidang Administrasi Umum Setprov Kaltim HM Aswin mengatakan PDRB Kaltim tiap tahun rata-rata mencapai lebih dari Rp300 triliun, sedangkan khusus pada 2010 sebesar Rp320 triliun.
Dana tersebut merupakan pendapatan daerah yang pajaknya kemudian diberikan kepada pemerintah pusat, PDRB itu kemudian menjadi pendapatan negara hingga mencapai sekitar Rp1.000 triliun per tahun.
Hanya saja, pajak besar yang disetor Kaltim ke pusat itu, yang kembali ke daerah dinilai sangat kecil karena tidak lebih dari 10 persen. Kondisi tersebut membuat masyarakat ingin melakukan uji materi.
Menurut dia, UU nomor 33 tahun 2004 itu memiliki kekuatan mengikat, sehingga menjadi dasar bagi pemerintah pusat untuk memberikan bantuan keuangan ke daerah sangat terbatas.
Padahal lanjutnya, Kaltim merupakan salah satu daerah penghasil minyak dan gas bumi (migas) terbesar di Indonesia, sehingga sudah sepantasanya Kaltim memperoleh pembagian keuangan yang lebih besar atau lebih adil.
Di sisi lain ucapnya, saat ini Kaltim sedang berupaya memberikan pelayanan maksimal kepada masyarakat. Di antaranya dengan melaksanakan pembangunan di daerah, terutama infrastruktur yang sangat memerlukan dana besar.
Infrastruktur yang sangat dibutuhkan Kaltim itu antara lain pembangunan jalan, jembatan, pelabuhan maupun kawasan industri sebagai bentuk upaya pemerintah daerah untuk mewujudkan ketersediaan infrastruktur memadai.
Kecukupan infrastruktur di suatu daerah sangat menentukan cepat maupun lambatnya daerah berkembang. Ketersediaan infrastruktur yang memadai tentu akan mampu mendorong peningkatan perekonomian daerah yang berujung pada kesejahteraan rakyat. (ANT/K004)
Oleh Oleh Muhammad Ghofar
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011