Moskow (ANTARA News) - Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) harus meningkatkan tekanan militer kepada pemimpin Libya, Muammar Gaddafi meskipun mendapat perhatian dari kelompok bangsa Brasil, Rusia, India, China dan Afrika Selatan (BRICS), kata pejabat Prancis.
Sejumlah Menteri Luar Negeri NATO mengadakan pertemuan di Berlin pada Kamis di tengah perbedaan yang mendalam atas serangan udara yang dimandatkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) guna melawan pasukan Gaddafi demi melindungi warga sipil Libya.
Sebelumnya Presiden Rusia, Dmitry Medvedev mengatakan bahwa para pemimpin bangsa BRICS percaya terhadap keadaan di Libya harus diselesaikan melalui upaya diplomatis.
Medvedev yang berbicara setelah konferensi tingkat tinggi BRICS di daerah China selatan, Sanya, menyatakan penentangannya terhadap "interpretasi sewenang-wenang" atas resolusi Dewan Keamanan PBB terkait Libya.
"Kami menganggap bahwa resolusi DK PBB tersebut harus dilaksanakan sejalan dengan semangat dan janji mereka, namun bukan sejalan dengan interpretasi sewenang-wenang seperti yang dilakukan oleh sejumlah negara," kata Medvedev.
Sebanyak puluhan pemberontak penentang Gaddafi telah terbunuh oleh serangan udara pimpinan NATO yang dimulai pada Maret.
Namun Prancis yang berperan sebagai pionir serangan di Libya mengatakan bahwa tekanan militer harus ditingkatkan.
"Serangan udara yang tepat bagi peralatan militer yang membuat Gaddafi dapat mengancam para warga harus berlanjut," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Prancis, Bernard Valero kepada pewarta di Paris.
Valero mengatakan bahwa keputusan itu telah disetujui oleh kelompok hubungan internasional terkait Libya yang baru dibentuk saat pertemuan tingkat tinggi di Doha, Qatar pada Rabu.
Kelompok yang terdiri dari negara adidaya Barat, sekutu Timur Tengah mereka serta organisasi internasional menuntut turunnya Gaddafi dan setuju untuk menyediakan "bantuan materi" kepada para pemberontak.
Sementara itu pertempuran sengit masih berlanjut di sepanjang pantai utara Libya dimana pasukan Gaddafi berusaha untuk memerangi para pemberontak dengan roket dan senjata ringan, demikian RIA Novosti-OANA melaporkan. (BPY/M014/K004)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011