Bogor (ANTARA News) - Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Sumber Daya Alam  Kementerian Kehutanan Darori mengungkapkan bahwa potensi kerugian negara akibat perambahan hutan lindung dan alam mencapai Rp104 triliun.

"Jumlah itu hanya di satu kawasan yakni Kalimatan Tengah, sementara di daerah lain masih belum terdeteksi," kata Darori dalam seminar sehari bertema "Prospek Penangkaran Rusa Timur" di IPB International Converence Center Botani Square, Bogor, Kamis.

Selain Kalimatan Tengah, menurut dia, kerusakan hutan juga terjadi di Kalimatan Timur dengan potensi kerugian sebesar Rp32 triliun dan Rp100 triliun di Kalimatan Barat.

"Kalimantan merupakan daerah terbesar yang kerusakan hutannya dengan tingkat parah, sebagian besar lagi ada di Sumatera," katanya.

Darori menjelaskan, kerusakan hutan tersebut terjadi karena tidak terjaga dengan baik sehingga dirambah dan beralih fungsi menjadi perkebunan dan pertambangan.

Menurut Darori, untuk mengantisipasi peningkatan kerusakan hutan diperlukan pengawasan serius dari pemerintah daerah karena saat ini dari 120 juta hektare total hutan di Indonesia, sepertiga bagian kondisinya masih bagus yang terdiri atas hutan alam dan hutan lindung, sisanya sepertiga dalam kondisi rusak dan sepertiga lagi perlu direvitalisasi.

"Kami mengimbau pemerintah daerah, LSM, dan akademisi untuk membantu pengawasan hutan karena jika tidak diawasi akan semakin parah kerusakannya," katanya.

Ia mengatakan, Ditjen PHKA telah meningkatkan upaya penanggulangan kerusakan hutan dengan melakukan konservasi dan mengamankan pelaku kerusakan hutan di sejumlah daerah.

Darori menyebutkan, saat ini ada enam kepala daerah di Kalimantan yang dijadikan target operasi karena terlibat kerusakan hutan dengan mengubah fungsi hutan .

"Keenam kepala daerah ini sedang didalami untuk dilidik, belum dijadikan tersangka. Ke depan menyusul kepada daerah di Sumatera," katanya.

Selain itu, kata Darori, sudah ada 96 kasus yang masuk ke Mahkama Agung, yang mana 50 persennya bebas dan 50 persen lagi masih diproses.

Menurut Darori, 50 persen yang bebas tersebut dikarenakan kekuatan hukum yang kurang kuat. Apalagi yang menjadi tersangka merupakan anak buah dari perusahaan seperti sopir, dan hukum yang ada belum bisa menjerat "cukong" atau pemilik usaha.

"Kami masih memburu para cukongnya, karena jika cukongnya belum diamankan, praktik ini akan terus berjalan. Saat ini sudah ada 12 orang yang ditahan di Bareskrim dan akan segera disidang. Salah satunya orang Jerman yang membuka usaha di hutan Sumatera Utara," kata Darori.

Darori mengatakan, dengan direvisinya Undang-undang Nomor 5/1990 tentang Konservasi dan Sumber Daya Alam akan menjadi payung hukum untuk menjerat pelaku usaha dan kepala daerah yang terlibat dalam perubahan fungsi hutan.

"Dengan revisi undang-undang, pengusaha akan dijerat dengan hukum yang berlaku. Bagi pengusaha yang terlibat dan terbukti melakukan pengrusakan hutan akan ditahan minimal delapan tahun dan maksimal 20 tahun dengan denda Rp20 miliar hingga Rp50 miliar. Sedangkan bagi pejabat yang terbukti terlibat dalam pengrusakan hutan akan dihukum minimal satu tahun dan maksimal 10 tahun dengan denda Rp10 miliar," kata Darori.

Menginat besarnya potensi kerugian negara akibat perambahan hutan tersebut, Darori mengimbau kepala daerah untuk meningkatkan pengawasan.

Menurut dia, jika kepala daerah lalai mengawasi kawasan hutan dan terlibat dalam pemberian izin perambahan hutan, yang bersangkutan akan dikenai saksi.

Darori juga mengharapkan dukungan dari LSM dan akademisi untuk turut mengawasi perlindungan hutan, dan meningkatkan upaya konservasi hutan demi kelangsungan hidup makhluk hidup di dalamnya.

(KR-LR/N002/S026)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2011