Dalam kasus Arifinto bersama kasus-kasus seksual serupa di gedung wakil rakyat, ada keterpecahan diri (disembodiment). Realitas mengenai seks semata terdegradasi menjadi wilayah simbolik, yakni adegan
Jakarta (ANTARA News) - "Jangan sampai sidang paripurna jadi sidang pariporno," tulis Wakil Ketua DPR Pramono Anung di akun Twitter-nya ketika merespons gaduh publik seputar ulah anggota Komisi V DPR asal Fraksi PKS, Arifinto, yang tertangkap kamera tengah membuka konten porno.
Sidang pariporno berujung kepada fakta paripurna bahwa Arifinto mengundurkan diri secara resmi sebagai anggota DPR RI periode 2009-2014 dengan bersandar kepada sejumlah alasan etis, antara lain tanpa paksaan dari siapa pun, demi kehormatan diri dan terpanggil untuk bertanggung jawab.
Sesegera, pengunduran diri Arifinto mendapat acungan jempol bahkan memperoleh peneguhan etis sebagai batu penjuru menuju adab budaya malu bagi kiprah politisi parlemen.
"Saya patut memberikan apresiasi atas kebesaran jiwa Arifinto, mau mundur dan mengaku bersalah. Ini patut dicontoh oleh seluruh pejabat. Sebab, ada sebagian orang yang sudah gagal dan diprotes banyak pihak, masih saja bertahan," kata Menkominfo Tifatul Sembiring.
Sementara, Sekretaris Fraksi PKS Abdul Hakim mengatakan, "Kami hargai dan ini tradisi yang baik. Padahal, kasusnya sendiri masih debatable. Kami sesalkan ini terjadi. Namun, ini tradisi yang baik dan perlu dihargai. Kami apresiasi sikap gentle dan tanggung jawab beliau."
Sedangkan, Pramono yang juga politisi PDI Perjuangan menyoroti keseriusan di balik soal sidang pariporno. "Saya melihat persoalan ini betul-betul mencoreng wajah DPR. Apa pun orang bisa memperdebatkan, tetapi ketika seseorang sudah terpilih menjadi anggota yang terhormat, perilakunya, terutama di depan publik, itu harus dikontrol".
Setelah gunjang-ganjing konten porno meneror perhatian publik di media massa, Arifinto angkat bicara. "Ada e-mail masuk di Galaxy (Samsung Galaxy Tab) saya. Saya lihat kan e-mail masuk ketahuan kan. Pas saya buka ternyata ada link. Link itu saya buka ternyata gambarnya gambar enggak benar," katanya.
Ia juga mengatakan, ia langsung menghapus gambar tersebut. "Itu foto tetapi saya sudah hapus karena saya lihat itu gambar porno. Saya tutup, saya hapus," katanya. Ia mengaku hanya melihat beberapa saat kemudian ia langsung menghapus gambar tersebut. "Saya bukan menonton dan menikmati film, bukan," katanya menegaskan.
Kasus Arifinto mewakili salah satu pola relasi antara seks dan politik. Ada drama memilukan serentak memalukan dalam perjalanan karir tokoh politik di singgasana wakil rakyat. Seks dan politik tidak jarang menjadi batu sandungan bagi politisi manakala menyandang predikat sebagai wakil rakyat.
Meminjam kosakata postmodernisme, sensasi antara seks dengan politik bagaikan "cerita agung" dari keteguhan hati wakil rakyat untuk membuat DPR menjadi tempat yang bersih, yang jauh dari bumbu-bumbu pariporno.
Cerita-cerita kecilnya menyejarah ketika publik disentak oleh sejumlah kasus yang disebut-sebut "nyerempet-nyerempet" fenomena begituan antara dua anak manusia.
Masih ingat, kasus fenomenal politikus Partai Golkar yang juga anggota DPR Yahya Zaini dengan biduan Maria Eva? Peredaran video porno keduanya menjadi konsumsi publik. Partai Golkar bertindak tangkas dengan mendepak Yahya Zaini yang kala itu menjabat sebagai Ketua Bidang Keagamaan DPP Partai Golkar.
Pada 2008, di kubu PDI-P muncul kasus serupa dengan dugaan pelecehan seksual yang menerpa salah satu staf anggota DPR Desi Firdiyanti oleh anggota Fraksi PDI-P Max Moein. Sontak, PDI-P memecat Max Moein dari kursinya sebagai anggota DPR.
Di awal DPR periode 2009-2014, mencuat pemberitaan ihwal dua anggota DPR yang berasal dari satu partai melakukan perkawinan di saat salah satu pihak masih terikat kesucian tali pernikahan.
Usut punya usut, kedua anggota DPR tersebut Siti Mufatahah dan Adiyaman dari Fraksi Partai Demokrat. Informasi tersebut "bablas angine" seiring klarifikasi keduanya yang menyebutkan telah melakukan pernikahan dan telah resmi bercerai dengan pasangan sebelumnya.
Teks berjudul seks dan politik menerpa beberapa wakil rakyat di tengah sorotan tajam publik seputar kontroversi pembangunan gedung baru DPR. Ini memperburuk citra DPR yang belakangan babak belur akibat kasus bolos anggota DPR, kontroversi dana aspirasi, rumah aspirasi, dan perjalanan "studi banding" ke luar negeri. Publik kemudian memilih kosa kata muak dan bosan lantaran membaca teks-teks wakil rakyat.
Publik disuguhkan drama yang menyasar kepada miskinnya wawasan kebangsaan beberapa wakil rakyat. Yang menyeramkan, miskin keutuhan sebagai pribadi bertanggungjawab. Filosof Hans Jonas menunjukkan bahwa apa yang khas bagi seorang negarawan bahwa ia secara naluri menyadarai bahwa ia bertanggungjawab atas keselamatan dan kemaslahatan bangsanya.
Selain paceklik tanggungjawab, drama sensasi sidang pariporno yang menimpa sejumlah anggota DPR meneguhkan melodrama dari karakter perangkat multimedia yakni menyergap dan mengepung seluruh diri manusia, utamanya menyentuh sensasi tubuh dalam peragaan adegan demi adegan dari seks virtual.
Bukankah realitas virtual memampukan manusia berada di ruang berbeda tanpa menggerakkan badan?
Mencuatnya skandal pariporno sejumlah wakil rakyat meneguhkan aksioma bahwa realitas virtual bisa menjadikan seseorang sebagai pengirim sekaligus penerima, produsen sekaligus konsumen, penguasa sekaligus yang dikuasai. Ini juga berlaku dalam seks virtual, meminjam pemerian dari filsuf politik Slavoj Zizek.
Dalam kasus Arifinto bersama kasus-kasus seksual serupa di gedung wakil rakyat, ada keterpecahan diri (disembodiment). Realitas mengenai seks semata terdegradasi menjadi wilayah simbolik, yakni adegan porno di dunia virtual.
Seks virtual beradegan porno melihat dan memandang tubuh pasangan seksual sebagai "yang dibendakan", "yang dikonsumsi". Ada keterpecahan diri antara dunia virtual dengan dunia aktual yang dialami sejumlah wakil rakyat. Tinggal sekarang, menanti ketergelinciran (glissement) diri dalam aneka mimpi dan "slip of tongue". Pariporno rasa paripurna!
Faktanya, pada paripurna penutupan masa sidang III 2010-2011 DPR, Arifinto tepergok sedang melihat gambar tak senonoh oleh kamera fotografer. Arifinto mengakui dirinya melihat gambar tak senonoh dalam beberapa detik, tetapi tak sengaja karena mendapat link-nya dari pesan elektronik.
(*)
Oleh A.A. Ariwibowo
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2011
ehh,,,ini malah gto..