akumulasi kekuasaan semacam ini bisa membuat Xi malah makin lekat mengasosiasikan diri dengan stabilitas nasional yang pada akhirnya membungkam perbedaan pendapat, sekalipun negara sentralistis seperti China memang tak terbiasa dengan perbedaan penda

Jakarta (ANTARA) - Pada awal pandemi COVID-19 ketika dunia dibuat panik oleh virus corona dan saat bersamaan China malah menjadi kisah sukses bagaimana seharusnya mengendalikan pandemi, bagian terbesar dunia termasuk Barat terusik oleh anggapan bahwa demokrasi kalah efektif dari sistem otoriter.

Bagaimana tidak begitu, tatkala demokrasi liberal Barat kesulitan mengelola krisis akibat pandemi karena perbedaan pendapat yang membuat penanganan pandemi menjadi berlarut-larut, negara tertutup dan otoriter seperti China malah dengan mudah mengendalikan COVID-19.

China tak saja efektif memberlakukan lockdown yang super-keras, namun juga mengendalikan dengan sama kerasnya lalu lintas informasi yang bisa menimbulkan panik dengan cara meniadakan perbedaan pendapat.

Tak ada diskusi alot mengenai bagaimana negara mesti mengalokasikan anggaran guna membendung pandemi. Tak ada pula pergunjingan larut tak berkesudahan mengenai vaksin. Semua berjalan mulus di China, manakala bagian terbesar dunia kesulitan menyatukan pendapat dalam upaya membendung pandemi.

China mengendalikan arus informasi sampai bisa mengontrol narasi publik mengenai soal apa pun yang berkaitan dengan apa yang disebut stabilitas nasional.

Tapi alasan stabilitas nasional itu pula yang membuat China membungkam kritik terhadap rezim atau bagian dari rezim, sampai kritik pribadi terhadap bagian kekuasaan pun dianggap ancaman terhadap stabilitas nasional.

Ini pula yang sepertinya terjadi pada petenis putri China yang pernah menempati peringkat satu ganda putri di dunia, Peng Shuai.

Peng menghilang setelah memposting tudingan dalam media sosial Weibo pada 2 November bahwa dia korban serangan seksual mantan wakil perdana menteri Zhang Gaoli.

Peng mengaku bertahun-tahun menjalin hubungan di luar nikah dengan Zhang yang kini berusia 75 tahun tetapi sempat berhenti ketika Zhang dipromosikan Partai Komunis China.

Namun, tiga tahun silam Peng diundang Zhang untuk bermain tenis bersama di rumahnya. Di rumah Zhang ini Peng dipaksa berhubungan badan.

Peng menyadari dia tak memiliki bukti untuk menguatkan tuduhannya, namun postingannya di Weibo seketika raib setengah jam setelah diposting.

Komentar-komentar netizen kepada dirinya dihapus dari akun Weibo-nya. Bahkan, segala hal berkaitan dengan tenis di media sosial China, disensor demikian ketat.

Komunitas tenis, PBB dan sejumlah negara kemudian mempertanyakan keberadaan Peng, sampai Peng akhirnya muncul pada Minggu dalam panggilan video dengan Presiden Komite Olimpiade Internasional (IOC) Thomas Bach.

Peng juga mengaku baik-baik saja, namun meminta privasinya tak diusik dan berjanji segera memasuki lagi lapangan tenis profesional.

Sehari sebelum panggilan video itu, wartawan media pemerintah China memposting foto dan video yang memperlihatkan Peng tengah makan malam bersama dengan rekan-rekan dan pelatihnya.

Namun Asosiasi Tenis Putri (WTA) menyatakan semua hal itu belum cukup membuktikan Peng memang baik-baik saja. WTA mendesak insiden pelecehan seksual yang menimpa Peng ini diselidiki.

Baca juga: Peng Shuai hadiri aktivitas publik, kata kementerian luar negeri China
Baca juga: Video call dengan Presiden IOC, Peng Shuai mengaku aman dan sehat
Baca juga: Fakta Peng yang tuding dipaksa hubungan seks oleh eks pejabat China


Selanjutnya: Kecenderungan baru

Copyright © ANTARA 2021