Jakarta (ANTARA) - Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) meminta setiap provinsi mewaspadai terjadinya kenaikan angka prevalensi tengkes (kekerdilan), khususnya pada daerah yang telah menjadi area nol tengkes.
"Balita yang sakit, diare tiga hari, bisa saja menjadi tengkes. Jadi, kita harus tetap waspada," kata Plt. Deputi Pengendalian Penduduk BKKBN Dwi Listyawardani dalam keterangan tertulis BKKBN yang diterima ANTARA di Jakarta, Senin.
Dwi menekankan semua pihak perlu memberikan perhatian khusus pada calon ibu dan ibu hamil, karena potensi anak terlahir dalam keadaan tengkes bisa muncul setiap waktu akibat berbagai macam penyebab, seperti ibu tidak mendapatkan perawatan dan asupan gizi yang baik.
Baca juga: Kepala BKKBN tegaskan kehamilan harus terencana untuk hindari tengkes
Baca juga: BKKBN: Stunting harus turun agar Indonesia raih bonus demografi
Selain itu, keluarga atau calon pengantin yang tidak mengetahui pentingnya 1.000 hari pertama kehidupan setelah bayi dilahirkan juga menjadi penyebab anak lahir dalam keadaan tengkes. Oleh sebab itu, pada masa itu keluarga harus benar-benar mengamati, mengawasi dan membantu ibu menjaga kondisi kesehatannya.
Dalam membantu setiap provinsi menurunkan angka prevalensinya, BKKBN melakukan sejumlah upaya, seperti bekerja sama dengan Kementerian Agama dan Kementerian Kesehatan merancang program baru berupa pemeriksaan kesehatan bagi calon pengantin.
Nantinya program itu, perlu diikuti oleh setiap calon pengantin tiga bulan sebelum melakukan pernikahan untuk memeriksa kesehatan calon ibu, seperti pemeriksaan hemoglobin (Hb), adanya anemia atau tidak serta apakah indeks massa tubuh seperti tinggi dan berat badan ibu memenuhi syarat untuk hamil.
"Kalau langsung hamil, janin tidak sehat itu bahaya karena bisa melahirkan anak tengkes. Apalagi, bila ibu dan bayi dalam kandungannya kekurangan gizi," kata dia.
BKKBN juga membantu memantau asupan gizi ibu dan anak melalui Dapur Sehat Atasi Stunting (Dashat), yang menyediakan makanan bergizi melalui pemanfaatan pangan lokal di Kampung Keluarga Berkualitas (KB) yang ada di daerah tersebut.
Ia menuturkan bahwa Dashat didirikan secara gotong royong untuk membantu keluarga yang tidak mampu sekaligus memberikan edukasi mengenai perbaikan pola makan bergizi.
Ia menargetkan 70 persen ibu yang baru melahirkan, dapat memakai alat atau obat kontrasepsi guna memberikan jarak kelahiran antar-anak yang menjadi salah satu penyebab utama terjadinya tengkes.
“Menurut penelitian, semakin pendek jarak kelahiran antar-anak, semakin berisiko anak yang dilahirkan menderita tengkes. Makanya, dalam satu keluarga jangan ada dua balita,” tegas Dwi.
Baca juga: BKKBN: Stunting harus ditangani oleh multisektor
Kepala BKKBN Provinsi Kalimantan Selatan H. Ramlan mengatakan kampung KB menjadi miniatur program Pembangunan Keluarga, Kependudukan, Keluarga Berencana (Bangga Kencana).
“Di Kampung KB berbagai program pemerintah bersinergi secara sistemik dan sistematis dan bisa diintervensi instansi lain untuk memberdayakan masyarakat," kata dia.
Dashat yang diluncurkan BKKBN menjadi salah satu program yang bersinergi dengan program lain yang dijalankan pemerintah. Misalnya Taman PKK, Taman Obat hingga Taman Buah.
Ia menjelaskan melalui Dashat pula, masyarakat bisa memberdayakan lahan yang ada di lingkungan atau sekitar rumahnya dengan menanam tanaman atau sayuran bergizi demi memenuhi gizi keluarga.
“Juga untuk menghindari stunting. Hasilnya tidak hanya untuk ibu hamil atau balita saja, tapi juga untuk seluruh anggota keluarga," ujar Ramlan.Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2021