Korban kekerasan seksual justru dikriminalisasi.
Jakarta (ANTARA) - Komisioner Komnas Perempuan Maria Ulfah Anshor mengatakan korban kekerasan seksual di Indonesia kerap mengalami kriminalisasi atas tuduhan pencemaran nama baik, sehingga mereka semakin tidak berdaya memperoleh keadilan.
“Korban kekerasan seksual justru dikriminalisasi. Korban mendapatkan tuduhan lain atas dugaan pencemaran nama baik atau lainnya,” kata Maria Ulfah Anshor, saat menjadi narasumber webinar nasional “Pro Kontra Permendikbud Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi” yang disiarkan secara langsung di kanal YouTube FS UIN KHAS Jember, dipantau dari Jakarta, Senin.
Hampir seluruh kasus kekerasan seksual di Indonesia yang dilaporkan, ujar Maria, membuat korban dilaporkan kembali oleh pelaku.
Ia kemudian mengambil contoh kasus Baiq Nuril sebagai korban kekerasan seksual yang dilaporkan balik oleh pelaku.
“Mungkin, bapak-bapak, ibu-ibu, dan teman-teman masih ingat kasus Baiq Nuril. Kasus itu juga kasus yang sama, kekerasan seksual yang dilaporkan, lalu dilaporkan balik atas pencemaran nama baik. Kemudian, Baiq Nuril sudah menjadi korban, dia juga harus dipenjara,” ujar Maria.
Namun beruntungnya, kata dia, Baiq Nuril mengajukan banding, meskipun dalam waktu yang lama dan proses yang melelahkan, sehingga dia berhasil mendapatkan grasi dari Presiden dan dibebaskan.
Dalam webinar yang diselenggarakan oleh Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq (UIN KHAS) Jember itu, Maria juga mengatakan situasi tersebut semakin mendorong Komnas Perempuan untuk memastikan korban kekerasan seksual mendapatkan perlindungan yang komprehensif.
“Yang kedua, penting juga pelaku supaya mendapatkan jerat hukuman agar tidak terjadi pengulangan,” katanya lagi.
Namun sejauh ini, ujar Maria, masih ada kekosongan hukum di Indonesia dalam KUHP yang mengenal perkosaan terbatas pada pertemuan antara dua kelamin. Dengan demikian, kasus kekerasan seksual dalam bentuk lain yang melibatkan anggota tubuh lainnya, bahkan benda tumpul tidak terjerat KUHP.
Kondisi tersebut, ujar dia, dapat dilihat dari kasus kekerasan seksual yang pernah terjadi di Bengkulu.
“Misalnya, seperti kasus di Bengkulu, ada Yuyun. Yang masuk itu, benda-benda dan anggota tubuh lainnya. Itu tidak terjerat oleh KUHP,” kata Maria.
Oleh karena itu, menurut Komisioner Komnas Perempuan ini, penyelesaian kasus kekerasan seksual yang adil belum dapat tercapai secara maksimal di Indonesia jika hanya mengandalkan undang-undang yang ada.
Dengan demikian, salah satu aturan terbaru, seperti Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi merupakan bentuk langkah maju mewujudkan lingkungan pendidikan yang aman tanpa kekerasan seksual sepatutnya didukung.
“Di dalam Permendikbud ada pro kontra, mari kita kembalikan pada akal sehat dan nurani kita agar kita dapat berempati pada korban,” kata Maria Ulfah Anshor.
Baca juga: Komnas Perempuan sarankan kampus bentuk tim tangani kekerasan seksual
Baca juga: KPPPA: Perlu pemberatan sanksi pelaku kasus pemerkosaan di Padang
Pewarta: Tri Meilani Ameliya
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2021