Jakarta (ANTARA) - Guru besar hukum tata negara Universitas Padjadjaran, Susi D Harijanti, menilai pembentukan UU di Indonesia selama masa pandemi melibatkan partisipasi masyarakat yang minim sehingga menunjukkan lemahnya fungsi legislasi DPR dan kemunduran demokrasi.
“Saya melihat bahwa pembentukan undang-undang di masa pandemi ini minim partisipasi masyarakat dan cenderung membenarkan inisiatif eksekutif,” ujar dia.
Penilaian itu ia sampaikan saat menjadi narasumber dalam webinar nasional program studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia bertajuk “Demokrasi di Era Pandemi” yang disiarkan secara langsung di kanal YouTube Tata Negara FHUI, dipantau dari Jakarta, Senin.
Baca juga: LaNyalla pastikan DPD kawal pembuatan aturan turunan UU Cipta Kerja
Selama era pandemi ini, kata dia, lembaga eksekutif di Indonesia memang berperan lebih dominan. Peran yang dominan itu dapat dilihat dari penggunaan pasal 22 UUD 1945 yang lebih banyak daripada pasal 12 UUD 1945.
Di dalam pasal 22 ayat (1) dan (2) UUD 1945, dimuat bahwa presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang dan peraturan tersebut harus mendapat persetujuan dari DPR dalam persidangan. Lalu dalam pasal 22 ayat (3) UUD 1945, dituliskan jika tidak mendapatkan persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.
Sementara terkait pasal 12 UUD 1945, dituliskan bahwa presiden menyatakan keadaan bahaya dengan syarat-syarat dan akibatnya ditetapkan undang-undang.
Baca juga: Jokowi kritik pembuatan UU yang bertele-tele
“Jadi, eksekutif akan tetap berperan dominan daripada cabang-cabang kekuasaan legislatif dan yudikatif melalui norma-norma konstitusi yang memberikan kewenangan kepada presiden untuk melakukan tindakan dan mengeluarkan kebijakan tertentu,” kata dia.
Kemudian dia juga menyoroti pelaksanaan fungsi-fungsi DPD yang ia nilai kurang terlihat signifikan selama masa pandemi Covid-19 di Indonesia.
“Mungkin, saya yang tidak secara teliti membaca, namun jarang sekali kita lihat di media-media massa bagaimana DPD itu mengeluarkan atau membuat satu pernyataan, satu kebijakan yang berkaitan dengan masa krisis ini,” ujar dia.
Baca juga: Legislator akui tidak ada UU disahkan
Pelaksanaan fungsi yang kurang signifikan itu, tambah Susi, dapat dilihat dari respons DPD terkait penyelenggaraan pemerintah daerah selama era pandemi, khususnya di periode awal pada Maret, April, dan Mei 2020.
Saat itu, pemerintah daerah telah meminta fleksibilitas wewenang dari pemerintah pusat untuk mengelola penanganan Covid-19 di daerah mereka masing-masing. Namun, menurut dia, DPD tidak mengeluarkan pernyataan untuk mendukung permintaan itu.
Oleh karena itu, dia juga mengatakan pandemi Covid-19 masih menjadi ujian bagi demokrasi dan fungsi lembaga-lembaga negara di Indonesia.
Baca juga: DPD uji materi lagi ke MK
Dengan demikian, ia mengharapkan masing-masing lembaga negara di Indonesia dapat memiliki daya adaptasi yang baik selama pandemi.
“Masing-masing lembaga negara itu sepatutnya melakukan atau memiliki daya adaptasi yang baik dalam rangka merespons kebutuhan dan keinginan masyarakat selama era pandemi ini,” kata dia
Selain itu, katanya, penting pula bagi lembaga-lembaga negara untuk membuat kebijakan yang koheren selama pandemi.
Pewarta: Tri M Ameliya
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2021