Surabaya (ANTARA) Makan snack berlemak, minuman manis dan makanan enak memang sangat menyenangkan apalagi di saat-saat yang menegangkan sekaligus sebagai pelengkap saat menonton pertunjukan drama favorit. Terlalu banyak menikmati makanan yang tidak sehat (lezat, berlemak, manis dan asin) telah jelas berhubungan erat dengan penyebab utama tingginya angka kejadian obesitas (kegemukan) di masyarakat. Tindakan untuk mengurangi kebiasaan makan yang tidak sehat perlu diambil untuk mengatasinya.
Secara teoritis dikatakan bahwa kenaikan harga adalah mekanisme terbaik untuk mengontrol konsumsi bahan pangan di pasar. Untuk itulah pengenaan pajak atau cukai terhadap bahan yang dianggap berbahaya dapat menjadi tindakan yang baik untuk mengontrol konsumsi masyarakat terhadap bahan pangan berbahaya tersebut. Hal ini telah terbukti di banyak negara dengan pengenaan cukai pada rokok, gula, dan garam. Apakah teori ekonomi ini berlaku juga di Indonesia?
Bekerjasama dengan Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Airlangga (FEB UNAIR), Surabaya, Jawa Timur, sejak Maret 2021, Southeast Asia Ministers of Education Organization – Regional Center for Food and Nutrition (SEAMEO RECFON), sebuah organisasi regional menteri-menteri pendidikan se-Asia Tenggara yang menfokuskan diri pada penuntasan masalah gizi dan pangan, melakukan sebuah studi eksperimental laboratorium komputer untuk menyelidiki pertanyaan ini.
Dalam studi eksperimental ini 80 orang subyek dibagi menjadi dua grup perlakuan dan masing-masing diberikan skenario kenaikan harga makanan dan minuman yang tidak sehat yang berbeda-beda. Skenario kenaikan harga tersebut dibuat berdasarkan kenaikan jumlah cukai secara bertahap, yaitu 5%, 15%, dan 25%. Pilihan subyek penelitian berdasarkan kenaikan harga makanan dan minuman tersebut kemudian diamati oleh tim peneliti. Selain itu peneliti melakukan kajian literatur dan analisa data sekunder untuk memetakan pola konsumsi makanan dan minuman tidak sehat penduduk Indonesia.
“Penelitian kami mendapatkan bahwa secara umum konsumsi makanan dan minuman tidak sehat di Indonesia cukup tinggi. Beberapa komoditas seperti gula pasir, makanan gorengan, dan minuman jadi/instan rata-rata dikonsumsi melebihi ambang batas yang ditentukan,” ungkap Dr. Ni Made Sukartini, SE., M.Si., MIDEC, dosen FEB Universitas Airlangga yang juga ketua tim peneliti.
Lebih lanjut, temuan eksperimen menunjukkan bahwa simulasi pengenaan pajak pada makanan tidak sehat atau subsidi pada makanan tidak sehat, tidak merubah keputusan individu dalam mengkonsumsi makanan tidak sehat. Hal ini menunjukkan bahwa pilihan konsumsi makanan dan minuman tidak sehat lebih didorong oleh preferensi individu itu sendiri, bukan faktor harga dari komoditas tersebut.
“Temuan ini menunjukkan pengenaan cukai pada makanan dan minuman tidak sehat sebesar maksimal 25 % tidak efektif dalam mengontrol konsumsi makanan dan minuman tidak sehat. Artinya mungkin jika cukai terhadap makanan dan minuman tidak sehat akan diberlakukan, kita membutuhkan persentase pajak yang lebih besar,” tanggap dr. Grace Wangge, PhD dari SEAMEO RECFON selaku pengawas penelitian ini.
Sebagai gambaran, sampai dengan tahun 2016 sebanyak 17 (tujuh belas) negara telah melakukan pengendalian konsumsi makanan tinggi gula. Sebagian negara menggunakan kebijakan pajak dengan persentase tertentu dari harga jual (USA, Chili, Kiribati, Barbados, Republik Dominika, dan Sain Vincent Grenadines). Di antara negara yang mengenakan pajak persentase ini, negara Kiribati yang mengenakan pajak dengan persentase tertinggi, yaitu 40 persen.
Dari wawancara lanjutan diketahui, terdapat beberapa hal yang juga memengaruhi pilihan para subyek, di antaranya ketidaktahuan tentang dampak kesehatan di masa depan, harga makanan yang masih terjangkau walau cukainya sudah tinggi, dan gaya hidup yang dianut masyarakat.
“Kampanye dan promosi kesehatan yang intensif perlu dilakukan untuk menginternalisasi pemahaman individu tentang dampak kesehatan dari konsumsi makanan tidak sehat sebagai pelengkap kebijakan perpajakan,” saran Ni Made Sukartini.
Pewarta: PR Wire
Editor: PR Wire
Copyright © ANTARA 2021