Jakarta (ANTARA) - Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Latasha Safira menginginkan pemerintah dapat meningkatkan insentif yang diperlukan bagi sektor swasta yang menjadi investor atau menanamkan modal di dalam riset atau penelitian bidang pendidikan.
"Perlu ada insentif bagi dunia usaha yang mau berinvestasi pada penelitian," kata Latasha Safira dalam keterangan tertulis di Jakarta, Sabtu.
Menurut dia, sinergi antara riset dan dunia usaha akan menciptakan inovasi-inovasi yang diharapkan bisa menjadi dasar pengambilan kebijakan dan menciptakan budaya riset di institusi pendidikan.
Untuk itu, ia mendorong pemerintah untuk perlu terus mendorong peningkatan kegiatan riset di perguruan tinggi untuk menjaga kelangsungan budaya ilmiah dan memastikan perguruan tinggi dapat berkontribusi dalam menciptakan inovasi di berbagai bidang.
Sayangnya, lanjut dia, kegiatan riset justru sering tidak dapat dilakukan karena berbagai alasan, seperti keterbatasan anggaran dan kesibukan para dosen.
Database peneliti dan jurnal akademik Indonesia dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, serta data Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di 2021 menunjukkan hanya sekitar 73,2 persen dari dosen dan peneliti yang tercatat telah mempublikasi artikel ilmiah.
“Kesibukan mengajar dan kesibukan administratif seringkali menghalangi para dosen untuk menjalankan kegiatan riset di bidangnya masing-masing. Dibutuhkan adanya posisi yang jelas bagi riset dalam proporsi tugas para dosen sehingga posisi riset dapat setara dan mendapatkan prioritas yang jelas, tidak hanya sekedar bentuk pengabdian masyarakat,” jelas Latasha.
Selain itu, kontinuitas anggaran riset juga perlu diperhatikan untuk menjaga kelangsungan proses inovasi yang sedang dan akan berjalan. Pengalokasian anggaran untuk riset menunjukkan komitmen pemerintah terhadap posisi riset sebagai dasar pengambilan kebijakan.
Selain memprioritaskan penggunaan anggaran riset yang optimal, pemerintah juga harus mendorong meratanya kegiatan riset di berbagai bidang. Keragaman sebaran bidang riset akan mendukung perkembangan bidang-bidang seperti pertanian, kesehatan, lingkungan, teknologi dan masih banyak lagi, selain industri.
"Perizinan untuk riset harus dibuat ringkas, cepat dan efisien. Perizinan yang seperti ini akan meningkatkan minat swasta untuk berkolaborasi dalam kegiatan riset dan hal ini akan menciptakan kolaborasi yang bermanfaat untuk kedua pihak," terang Latasha.
Sebagaimana diwartakan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) memetakan kebutuhan riset dan inovasi dari kementerian/lembaga (K/L) melalui Forum Komunikasi Riset dan Inovasi (FKRI) 2021.
"Forum Komunikasi Riset dan Inovasi adalah ajang tahunan untuk mengumpulkan kebutuhan riset dan inovasi yang dibutuhkan oleh K/L, dan akan menjadi landasan perencanaan program di BRIN pada tahun anggaran berikutnya," kata Kepala BRIN Laksana Tri Handoko dalam Pembukaan FKRI 2021 dalam jaringan di Jakarta, Jumat (19/11).
FKRI yang diselenggarakan pada 22-26 November 2021 adalah yang pertama kalinya dilakukan setelah pembentukan BRIN pada April 2021, dan bersifat penting untuk perencanaan program riset dan inovasi guna mendukung kementerian/lembaga (K/L).
FKRI juga menjadi ajang silaturahim antara K/L dengan BRIN, bersama dengan Kementerian Keuangan dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dalam mengagendakan kebutuhan riset dan inovasi dari setiap K/L untuk tahun 2022 dan 2023.
Setelah FKRI dengan K/L, BRIN juga akan menyelenggarakan FKRI dengan pelaku usaha, industri, dan perusahaan rintisan (startup), serta pemerintah daerah.
Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Adi Lazuardi
Copyright © ANTARA 2021