Jakarta (ANTARA News) - Undang-undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) mengamanatkan peserta wajib membayar iuran, namun pemerintah sebenarnya memiliki dana yang cukup dari APBN untuk membiayai SJSN.

Dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Minggu, Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Siti Fadilah Supari mengatakan, iuran SJSN dapat diambil dari dana bantuan sosial yang tersebar di berbagai kementerian dan lembaga negara yang jumlahnya Rp61,2 trilun.

"Dana itu biasanya digunakan untuk berbagai sumbangan kepada masyarakat seperti sumbangan pembangunan masjid atau kegiatan sosial lainnya," katanya.

Sedangkan pelaksanaan SJSN, kata Siti Fadilah Supari, hanya dibutuhkan Rp40 trilun. Anggaran sebesar itu sudah dapat mencakup biaya kesehatan seluruh rakyat.

"Adalah tugas pemerintah untuk melindungi rakyat, jangan rakyat disuruh melindungi diri sendiri," kata Fadilah dalam acara pengobatan gratis di Kemayoran, Jakarta Pusat, Minggu.

Berdasarkan anggaran 2010, total dana bantuan sosial di seluruh lembaga negara mencapai Rp61,2 trilun dan pada 2011 mencapai Rp59,1 triliun. Dana bantuan sosial itu antara lain terdapat di Kementerian Dalam Negeri sebesar Rp8,6 triliun, Kementerian Pendidikan sebesar Rp31,2 triliun, Kementerian Kesehatan Rp3,7 triliun, Kementerian Agama Rp6,8 triliun, Kementerian Sosial Rp2,1 triliun, Kementerian Pekerjaan Umum Rp2,5 triliun. Dana bantuan sosial itu ada diberbagai lembaga negara jumlahnya bervariasi.

Siti Fadilah menegaskan seluruh rakyat berhak mendapat jaminan sosial, tidak boleh dibedakan antara yang miskin dan yang kaya, dan pemerintah berkewajiban memberikan jaminan tersebut. Tak seharusnya masyarakat memberikan uang iuran lagi.

"Angka pengangguran masih tinggi, kalau buat makan saja susah bagaimana mau membayar uang iuran," tegas Menteri Kesehatan pada Kabinet Indonesia Bersatu Jilid I (2004-2009) tersebut.

Dalam Undang-undang SJSN pasal 17 diatur tentang iuran peserta, antara lain iuran dipungut oleh pemberi kerja dan kemudian ia membayarkannya kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.

Sebelumnya, Wakil Ketua MPR dari Fraksi Golkar Hajriyanto H. Thohari menegaskan bahwa perintah UUD 1945 Pasal 28H, jaminan sosial adalah hak dan tidak boleh diperjualbelikan.

"Pelaksana jaminan sesuai perintah Undang undang adalah negara. Tidak boleh diserahkan pada pihak ketiga. Karena ini tanggung jawab negara yang harus dipenuhi oleh pemerintah," tegasnya.

Walikota Jakarta Pusat, Saefullah menjelaskan bahwa, program jaminan kesehatan di DKI Jakarta sudah cukup baik dan kepesertaannya cukup luas.

"Ada 120 RW kumuh di Jakarta Pusat yang membutuhkan perhatian dan segera harus dibangun dan diaktifkan RW-RW siaganya oleh masyarakat dan DKR," katanya.

Mewakili Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Drg Yudhita Endah Primaningtyas menegaskan bahwa pasien miskin dan tidak mampu tidak perlu membayar kontribusi lagi.

"Tidak boleh lagi ada kontribusi di Rumah Sakit pada pasien miskin dan tidak mampu. Kita juga akan segera menertibkan dan mendata ulang penerima GAKIN. Untuk itu kami harapakn peran aktif DKR untuk membantu pendataan orang miskin," tegasnya.

Anggota DPD dari DKI Jakarta, AM Fatwa mengeluhkan banyaknya warga yang masih belum menerima GAKIN dan menghadapi rangkaian yang panjang dari birokrasi untuk mendapatkan pelayanan kesehatan cuma-cuma.

"Dinas Kesehatan saya minta untuk mempersingkat jalur pengurusan jaminan kesehatan agar tidak menyulitkan rakyat," ujarnya.(*)
(R009/K004)

Pewarta: Ruslan Burhani
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011