"Sembilan di antaranya sudah dinyatakan pulih dan dua lagi sedang ditangani," kata Direktur Eksekutif Rumah Sakit Spesialis Selangor Rolan Ahmad di Banda Aceh, Sabtu.
Ia mengatakan, dari 13 korban konflik Aceh tersebut, empat di antaranya dirawat karena bermasalah dengan tulang, dua orang tangani spesialis mata, dan lima lainnya di bagian internis atau penyakit dalam.
Menurut dia, pasien dari korban konflik Aceh tersebut dirawat berdasarkan rujukan Rumah Sakit Umum Daerah Zainoel Abidin (RSUD) Banda Aceh.
"Kami menangani pengobatan medis korban konflik Aceh berdasarkan kerja sama dengan Badan Reintegrasi Aceh atau BRA. Kerja sama ini berlangsung sejak Desember 2010 hingga Desember 2011," kata dia.
Kepala BRA Hanif Asmara mengatakan, dipilihnya Rumah Sakit Selangor sebagai tempat pengobatan korban konflik Aceh karena memiliki dokter dengan 750 spesialis.
"Rumah sakit ini memiliki jaringan yang luas dan merupakan bagian dari Kumpulan Pengobatan Johor (KPJ). KPJ ini memiliki 19 rumah sakit di Malaysia dan dua di Jakarta," katanya.
Selain itu, kata dia, biaya pengobatan di rumah sakit ini terbilang murah, rata-rata menghabiskan Rp20 juta per orang. Sedangkan alokasi dana untuk kerja sama pengobatan korban konflik ini sebesar Rp1,5 miliar.
"Mereka yang dirawat di Malaysia ini karena tidak bisa ditangani di Aceh. Pengobatan mereka di negeri jiran tersebut berdasarkan rujukan RSUDZA Banda Aceh," katanya.
Ia mengatakan, pengobatan korban konflik dilakukan berjenjang, mulai dari puskesmas, rumah sakit kabupaten/kota hingga RSUDZA. Apabila tidak bisa ditangani di RSUDZA Banda Aceh, barulah dirujuk ke Rumah Sakit Spesialis Selangor.
"Jadi, BRA bukanlah pihak yang mengeluarkan surat rujukan pengobatan korban konflik. Kami hanya membiayai mereka berobat, baik di rumah sakit di Aceh maupun di Malaysia," ujar Hanif Asmara.(*)
(T.KR-HSA/Y006)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011