Sana`a (ANTARA News) - Protes di Yaman berubah jadi kerusuhan, Jumat (8/4), sehingga menewaskan lima orang dan melukai puluhan orang lagi, sementara Presiden Ali Abdullah Saleh menolak rencana negara Teluk untuk mengakhiri 32 tahun masa pemerintahannya.

Presiden Saleh, yang menghadapi tantangan yang tak pernah ada sebelumnya dari ratusan ribu pemrotes, mulanya menerima tawaran Arab Saudi dan negara lain Teluk, sebagai bagian dari upaya Dewan Kerja Sama Teluk (GCC), untuk mengadakan pembicaraan dengan oposisi, demikian Reuters melaporkan.

Pada Rabu, Perdana Menteri Qatar Sheikh Hamad bin Jassim Ath-Thani mengatakan GCC akan mencapai kesepakatan dengan Saleh untuk pergi.

Tapi pada Jumat, Saleh memberi tahu puluhan ribu pendukungnya di ibu kota Yaman, Sana`a, "Kami tak mendapatkan pengesahan kita dari Qatar atau dari siapa pun juga ... kami menolak campur-tangan yang suka berperang ini."

Kekecewaan terhadap kebuntuan mungkin mendorong ribuan warga Yaman yang telah turun ke jalan kian dekat dengan kerusuhan.

Lima pemrotes ditembak hingga tewas pada Jumat, sehingga jumlah korban jiwa akibat bentrokan dengan pasukan keamanan pekan ini jadi sedikitnya 26 orang.

"Saya kira GCC atau Barat tak ingin Yaman mengikuti jalan Libya, sebab ke sana lah semua ini menuju," kata Theodore Karasik, pengulas di grup INEGMA, yang berpusat di Dubai, Uni Emirat Arab.

"Makin kuat Saleh bertahan, makin kuat pula tekanan dari luar, jadi ini benar-benar dapat menggambarkan berapa banyak pengaruh negara luar atas Yaman," katanya.

Bentrokan terjadi di Taiz antara ratusan pemrotes dan pasukan keamanan yang melepaskan tembakan dan menembakkan gas air mata. Tiga pemrotes ditembak hingga tewas dan 150 lagi cedera terkena peluru, kata beberapa dokter. Sebanyak 200 cedera karena menghirup gas air mata.

Seorang dokter yang merawat korban cedera di lapangan Taiz mengatakan 10 di antara korban cedera berada dalam kondisi kritis.

Di kota pelabuhan Aden, yang dulu menjadi ibu kota negara merdeka di selatan, polisi melepaskan tembakan guna membubarkan ribuan pemrotes. Sebanyak 15.000 orang berkumpul di pelabuhan Laut Merah, Hudaida, guna menuntut Saleh mundur dan berkabung untuk enam orang yang tewas dalam protes di sana pada Senin (4/4).

"Kami sudah jemu dengan penindasan dan kemiskinan ini di Hudaida dan seluruh Yaman," kata pemrotes yang bernama Abdullah Fakira. "Cukup sudah!"

Sebanyak 40 persen dari 23 juta warga Yaman hidup dengan penghasilan kurang dari dua dolar AS per hari dan sepertiga dari seluruh warga menghadapi kelaparan kronis, kata Reuters.

Bahkan sebelum protes berlangsung, yang diilhami oleh aksi pemberontakan regional, Saleh sudah berjuang memadamkan aksi separatis di Yaman selatan dan aksi perlawanan kaum Syiah di bagian utara. Kerusuhan tersebut dapat memberi sayap Al-Qaida yang berpusat di Yaman lebih banyak ruang untuk beroperasi.

Semua itu menambah keprihatinan mengenai kestabilan di satu negara yang berada di jalur pelayaran yang menjadi tempat pengiriman lebih dari tiga juta barel minyak setiap hari. (C003/A011/K004)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011