Palembang (ANTARA News) - Dewan Pers tanpa menunggu adanya pengaduan, akan proaktif menangani kasus-kasus pers yang mengandung bobot kepentingan publik yang besar, kata Agus Sudibyo, Ketua Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etika Dewan Pers, di Palembang, Kamis.
Menurut Agus Sudibyo, dalam Sosialisasi Standar Kompetensi Wartawan bagi pimpinan dan pengelola media massa di Sumatera Selatan itu, pihaknya telah menangani kasus pers secara proaktif, terutama berkaitan dengan penegakan etika pers, kasus-kasus yang berbobot kepentingan publik yang besar, kasus kekerasan terhadap jurnalis atau media massa.
Ia mencontohkan, kasus yang proaktif ditangani Dewan Pers itu, seperti kasus pemberitaan bom Utan Kayu, pemberitaan IPO PT Krakatau Steel, dan pemberitaan tentang Kerusuhan di Tanjungpriok.
Begitupula penanganan penegakan etika pers berdasarkan pengaduan dan atau temuan Komisi Penyiaran Indonesia, dengan KPI itu meminta pertimbangan dari Dewan Pers, ujar Agus.
Dia merincikan, selama Januari hingga Desember 2010, Dewan Pers telah menerima 512 pengaduan, 144 pengaduan langsung, 368 tembusan, 48 kasus mediasi, empat kasus dengan keputusan Dewan Pers, dan 92 kasus surat menyurat karena lokasi yang jauh di berbagai daerah di Indonesia.
"Kesimpulan kami sebanyak 80 persen kasus yang ditangani itu, berakhir dengan kesimpulan media atau wartawan melakukan pelanggaran kode etik," kata anggota Dewan Pers dari wakil tokoh masyarakat yang pernah dinobatkan sebagai penerima Press Freedom Award 2007 dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) itu.
Agus Sudibyo menyebutkan pelanggaran kode etik itu, di antaranya berita yang tidak berimbang, berpihak, tidak ada verifikasi, dan menghakimi, mencampurkan fakta dan opini, data tidak akurat, keterangan sumber berbeda dengan yang dikutip dalam berita.
Dewan Pers juga menemukan kasus pelanggaran kode etik berupa sumber berita tidak kredibel atau tidak jelas, berita mengandung muatan kekerasan, sadisme, atau pornografi.
"Adapula kecenderungan pemberitaan yang menghakimi orang-orang yang terlanjur menjadi `public enemy` atau terlanjur tidak bagus citranya di mata publik. Padahal mereka tetap berhak atas berita yang `fair`," ujar dia lagi.
Dia menyebutkan, pengaduan kasus pers itu paling banyak yang diadukan adalah wartawan atau medianya (110 pengaduan), pemerintah/pejabat (8 pengaduan), perusahaan (7 pengaduan), TNI (2 pengaduan), polisi (2 pengaduan), dan perguruan tinggi (2 pengaduan).
Para pengadu adalah masyarakat (42 pengaduan), wartawan/media (33 pengaduan), pemerintah/pejabat (17 pengaduan), perusahaan (13 pengaduan), polisi (7 pengaduan), organisasi wartawan (6 pengaduan), dan ormas/LSM (5 pengaduan).
Kasus yang diadukan itu berasal dari DKI Jakarta (68 pengaduan), disusul Sumatera Utara 13 pengaduan, Jawa Barat sebanyak 9 pengaduan, dan Jawa Timur sebanyak 8 pengaduan, serta Riau empat pengaduan.
"Di Sumsel masuk hanya satu pengaduan, semoga ini menunjukkan sebagai indikator yang positif dalam penegakan kode etik jurnalistik," ujar dia pula. (B014/K004)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011