Mereka mempermainkan isu yang sama seperti SARA, Bhinneka Tunggal Ika, dan negara gagal"

Singapura (ANTARA News) - Dosen Ilmu Komunikasi dari Universitas Airlangga Surabaya Dr Rachmah Ida membahas sikap media massa Indonesia terhadap isu Ahmadiyah dalam Asia Journalism Forum (AJF) di Singapura, Kamis.

"Media massa di Indonesia tidak pernah berubah dalam menyikapi Ahmadiyah dan hal itu menunjukkan mereka mempermainkan isu itu," katanya dalam konferensi dan workshop AJF bertajuk `Reporting Religion: Dilemmas for Public Discourse` pada 6-8 April itu.

Dalam konferensi dan workshop AJF yang diikuti 70-an peserta dari wartawan, akademisi, dan tokoh agama asal Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, Vietnam, India, Pakistan, China, Nepal, dan Srilanka itu, ia menjelaskan media massa "bermain" untuk mencari keuntungan dari konflik.

"Mereka mempermainkan isu yang sama seperti SARA, Bhinneka Tunggal Ika, dan negara gagal, Yang menarik, media massa menyikapi kasus Monas dengan membenci FPI, tapi dalam kerusuhan Cikeusik justru terkesan membela FPI dan menyudutkan Ahmadiyah," katanya.

Oleh karena itu, katanya, konflik agama di Indonesia itu sebenarnya tidak ada. sebaliknya yang ada adalah politisasi agama untuk kepentingan bisnis dan politik, termasuk kerusuhan di berbagai daerah seperti di Maluku.

"Di Maluku, Jawa Pos Grup membuat dua surat kabar yakni Suara Maluku yang memihak komunitas Kristen dan Ambon Express yang memihak komunitas Islam," katanya merespons pertanyaan wartawan Thailand tentang konflik di Maluku.

Menurut dia, sikap Jawa Pos Grup itu seolah-olah menunjukkan media massa bersikap seimbang, tapi hal itu sebenarnya untuk kepentingan bisnis, karena netralitas itu seharusnya tercermin dalam satu surat kabar.

Senada dengan itu, jurnalis paruh waktu dari India, Paromita Pain, menyatakan peran media massa dalam situasi konflik seharusnya menjadi pembangun dialog dan fasilitator perdamaian.

"Caranya, media massa dapat meliput konflik dari dua pihak untuk membangun dialog, kemudian media massa juga dapat mencari narasumber non-kekerasan dari kalangan marjinal, korban, atau pihak ketiga," katanya.

Jurnalis dari India itu membahas kerusuhan di India dan Srilanka, sedangkan pembicara dari Malaysia mengangkat demonstrasi penolakan pembangunan kuil di syeksen 19 dengan membawa potongan kepala sapi. Jurnalis Thailand juga mengupas kerusuhan berdarah Thailand.

Dalam konferensi yang digelar Wee Kim Wee School of Communication and Information NTU Singapura dan Institute of Policy Studies NUS itu, peserta AJF sempat diajak mengunjungi pusat keagamaan di Singapura (5/4) dan mengakhiri AJF dengan workshop (8/4).

Pusat keagamaan yang sempat dikunjungi antara lain wihara "Sri Sivan Temple", kuil Buddha, dan Jamiyah Singapura (Muslim Missionary Society Singapore).(*)

E011/S019

Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2011