janji itu tidak cukup jauh untuk membatasi kenaikan suhu hingga 1,5 derajat Celcius
Jakarta (ANTARA) - Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai hasil Conference of Parties 26 (COP26) tidak ideal tetapi menarik karena menekankan pentingnya untuk menjaga agar peningkatan suhu tidak lebih dari 1,5 derajat Celsius.
"Seperti kata Greta Thunberg ini masih 'bla bla bla'. Tetapi ada yang menarik," kata Fabby dalam konferensi pers komunitas peduli krisis iklim secara daring diikuti di Jakarta, Kamis.
Pertama, Pakta Iklim Glasgow yang dihasilkan pada 13 November 2021 menekankan pentingnya untuk mencapai 1,5 derajat Celsius, berdasarkan laporan Artikel 6 Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC). Kedua, untuk pertama kalinya bahan bakar fosil, khususnya batu bara, disebutkan secara eksplisit sebagai penyebab emisi gas rumah kaca.
Dan penekanan penghentian subsidi bahan bakar fosil yang sebelumnya sulit karena banyak kepentingan dari negara para pihak, terutama negara Arab yang selama ini menghalangi agenda-agenda itu, menjadi menarik.
Fokus di COP26 sangat kuat memang, mengingat Pemerintah Inggris juga mengatakan memang fokus ingin menghentikan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batu bara. Terlebih kontribusi emisi gas rumah kaca dari pembakaran batu bara mencapai 40 persen emisi global.
Baca juga: Peneliti: Nuklir mulai diperhatikan di COP26 turunkan emisi karbon
Baca juga: Indonesia ingatkan negara pihak punya kewajiban wujudkan hasil COP26
"Penting sekali itu. Dalam teks terakhir (draf Pakta Iklim Glasgow) di hari terakhir (negosiasi) masih masuk 'phase out' pembangkit dengan tenaga batu bara dan subsidi bahan bakar fosil. Tapi intervensi India yang menyatakan baru akan mencapai net zero emmission di 2070 membuat isi teks tidak 'phase out' tetapi 'phase down'," ujar Fabby.
Intervensi India yang diterima Presiden COP26 dan itu membuat semua yang bernegosiasi kesal, meski akhirnya semua pihak mengadopsi pakta tersebut.
Meski hasil COP26 tidak sesempurna harapan namun Indonesia tetap mengingatkan semua negara pihak punya kewajiban bersama mewujudkan hasil konferensi iklim yang telah terlaksana di Glasgow, Skotlandia, pada 31 Oktober hingga 13 November 2021 tersebut.
Ketua Delegasi Indonesia pada COP26 Laksmi Dhewanthi mengatakan setelah melalui negosiasi yang intens hingga menjelang akhir konferensi, akhirnya Pakta Iklim Glasgow yang disebut sebagai kesepakatan iklim pertama yang secara eksplisit berencana untuk mengurangi penggunaan batu bara sebagai pengemisi terburuk tidak sepenuhnya dapat disepakati seluruh negara pihak.
Pada akhirnya negara-negara pihak sepakat untuk menghentikan secara bertahap daripada menghapus batu bara. Meskipun beberapa pihak mengekspresikan kekecewaannya, namun kesepakatan tersebut setidaknya merefleksikan adanya kondisi nasional yang berbeda-beda, kata Laksmi yang juga menjabat sebagai Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
"Pakta Iklim Glasgow mendesak pengurangan emisi yang lebih ambisius, dan menjanjikan lebih banyak uang untuk negara-negara berkembang untuk membantu mereka beradaptasi dengan dampak iklim. Tapi banyak negara pihak yang menggarisbawahi bahwa janji itu tidak cukup jauh untuk membatasi kenaikan suhu hingga 1,5 derajat Celcius," ujar Laksmi.
Baca juga: Negara maju harus pimpin upaya batasi naiknya suhu 1,5 derajat Celsius
Baca juga: COP26 gagal sepakati pendanaan baru untuk kerusakan akibat iklim
Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2021