Chandra dalam diskusi di Gedung DPD RI di Senayan Jakarta, Rabu, mempertanyakan sikap pemerintah yang sampai sekarang masih diam terkait segera berakhirnya kontrak Kodeco. Sikap pemerintah ini menimbulkan kecurigaan, blok migas tersebut akan kembali diserahkan pihak asing dalam pengelolaannya (operatornya).
Jika diserahkan kembali kepada perusahaan asing, maka kebijakan pemerintah itu sangat mengecewakan karena perusahaan nasional dan BUMN mampu mengelolanya. "Sejak dua tahun lalu, Pertamina telah menyampaikan keinginan untuk dapat mengelola Blok WMO tersebut setelah kontrak Kodeco berakhir," ujar Chandra.
Menurut anggota Fraksi PAN DPR RI ini, kontrak Blok WMO selama ini dipegang tiga perusahaan, yaitu Pertamina dengan 50 persen, CNOOC dari China (25 persen) dan juga perusahaan asal Korea Selatan, Kodeco 25 persen.
Meski Pertamina secara mayoritas memiliki saham, namun realitasnya selama ini eksplorasi WMO itu dilakukan oleh Kodeco. Kontrak ini dilakukan sejak 7 Mei 1981 berlaku selama 30 tahun dan akan berakir pada Mei 2011.
Chandra mengatakan, berdasarkan target produksi yang diumumkan Pertamina, Blok WMO dapat menghasilkan minyak sebesar 20.000 barel per hari (bph) selama minimal 20 tahun ke depan.
Dengan asumsi rata-rata harga minyak selama 20 tahun adalah 90 dolar AS/barel dan 1 tahun sama dengan 365 hari, maka pendapatan minimal yang dapat diperoleh dari Blok WMO adalah (20.000 barel x US$ 90/barel x 365 hari x 20 tahun)= US$ 13,14 bilion atau sekitar Rp 120 triliun.
"Artinya, potensi kerugian negara jika sampai pengelolaan Blok WMO itu jatuh ke asing, lebih dari empat kali lipatnya dari kerugian dalam kasus dana talangan Bank Century Rp 6,7 triliun," ujarnya.
Dengan kesediaan Pertamina untuk melanjutkan pengelolaan Blok WMO tersebut, maka pemerintah seharusnya menunjuk Pertamina sebagai operator blok tersebut dengan kepemilikan saham 100 persen.
"Dengan menunjuk Pertamina sebagai operator dari Blok WMO ini, berarti pemerintah konsisten dalam keberpihakannya pada 237 juta penduduk Indonesia dan kembali menegakkan harga diri bangsa," katanya.
Pengamat perminyakan Kurtubi mengingatkan pejabat pemerintah mengenai pelaksanaan Pasal 33 UUD 1945. Pemerintah harus mengutamakan perusaahan dalam negeri, seperti halnya negara-negara lain yang memiliki kemampuan mengelola migasnya.
"Malaysia itu menyerahkan seluruh migasnya kepada Petronas, kemudian mendorong Petronas bergerak ke 33 negara. mestinya kita begitu karena konstitusi negara mengatur mengenai hal itu," katanya.
Dia mengatakan, jika pejabat lebih mengutamakan perusahaan asing, maka hal itu perlu dipertanyakan alasannya. Dalam kaitan ini, KPK perlu menyelidiki dugaan suap dari perusahaan asing.
(S023/M012/S026)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2011