Kami memiliki kehati-hatian dan kecermatan dalam menyusun RUU TPKS.
Jakarta (ANTARA) - Ketua Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) DPR RI Willy Aditya menegaskan bahwa tidak ada lagi konten terkait dengan persetujuan kedua belah pihak yang terlibat dalam kegiatan seksual (sexual consent) dalam RUU.
"Kami sudah memutuskan terkait dengan kata 'persetujuan' itu dihapuskan, tidak ada lagi sexual consent dalam draf RUU TPKS," kata Willy usai memimpin Rapat Panja RUU TPKS di Jakarta, Rabu.
Menurut dia, publik tidak perlu resah karena RUU TPKS bukan produk legislasi untuk melegalisasi kebebasan seks dan legalisasi hubungan sejenis.
Willy menekankan bahwa Panja RUU TPKS memiliki sikap kehati-hatian dan kecermatan dalam menyusun RUU tersebut.
Dalam Rapat Panja RUU TPKS pada hari Rabu (16/11), kata dia, memang terjadi perdebatan terkait dengan beberapa pasal kontroversial dalam RUU TPKS, seperti pasal 5, 6, 7, 8, dan Pasal 9.
"Pasal 5, 6, dan Pasal 7 sudah selesai dibahas. Kami memiliki kehati-hatian dan kecermatan dalam menyusun RUU TPKS," ujarnya.
Ia mengatakan bahwa Panja RUU TPKS akan melakukan rapat sekali lagi untuk membahas materi dalam RUU tersebut dan menegaskan mana saja yang masih kontroversial.
Menurut dia, ada sekitar 4—5 poin yang tersisa dalam RUU TPKS untuk disepakati di tingkat Panja.
"Kami kembali lakukan dialog agar sesuai dengan agenda, pada tanggal 25 November 2021 diambil keputusan," katanya.
Dalam RUU TPKS per tanggal 15 November 2021, Pasal 5 menyebutkan bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan memaksa orang lain menggunakan alat kontrasepsi dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan, penyesatan, penipuan, membuat atau memanfaatkan kondisi tidak berdaya sehingga orang itu tidak dapat memberikan persetujuan secara bebas, yang dapat membuat kehilangan fungsi reproduksinya untuk sementara waktu, dipidana karena pemaksaan kontrasepsi, dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Pasal 6 menyebutkan bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan memaksa orang lain menggunakan alat kontrasepsi dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan, penyesatan, penipuan, membuat atau memanfaatkan kondisi tidak berdaya sehingga orang itu tidak dapat memberikan persetujuan secara bebas, yang dapat membuat kehilangan fungsi reproduksinya secara tetap, dipidana karena pemaksaan sterilisasi, dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan/atau pidana denda paling lama Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Disebutkan dalam Pasal 7 bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan dengan kekerasan, ancaman kekerasan, tipu daya, rangkaian kebohongan, atau penyalahgunaan kekuasaan, atau menggunakan kondisi seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan untuk melakukan hubungan seksual, dengan memasukkan alat kelaminnya, bagian tubuhnya, atau benda ke alat kelamin, anus, mulut, atau bagian tubuh orang lain, dipidana karena pemaksaan hubungan seksual dengan pidana penjara paling lama 12 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Dalam Pasal 8 menyebutkan bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan dengan kekerasan, ancaman kekerasan, tipu daya, rangkaian kebohongan, nama identitas atau martabat palsu, penyalahgunaan kepercayaan, penyalahgunaan wewenang, atau memanfaatkan kerentanan, ketidaksetaraan, atau ketergantungan seseorang, agar seseorang melakukan hubungan seksual dengannya atau orang lain dan/atau perbuatan yang memanfaatkan tubuh orang tersebut yang terkait keinginan seksual dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana karena eksploitasi seksual, dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 9 menyebutkan bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan satu atau lebih tindak pidana kekerasan seksual dalam undang-undang ini dengan:
a. memaksa korban, saksi, atau orang ketiga memberikan atau tidak memberikan keterangan;
b. menghakimi atau memberikan penghukuman atas suatu perbuatan yang diduga telah dilakukan olehnya ataupun oleh orang lain untuk mempermalukan atau merendahkan martabatnya; dan/atau
c. tujuan lain yang didasarkan pada diskriminasi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Baca juga: Panja: Beberapa fraksi minta tunda pengambilan keputusan RUU TPKS
Baca juga: Panja RUU TPKS DPR optimistis terbangun kesepahaman
Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2021