London (ANTARA News/Reuters) - Harga minyak bisa meroket mencapai 200 dolar hingga 300 dolar Amerika Serikat per barel jika eksportir minyak mentah terkemuka dunia Arab Saudi dilanda kerusuhan politik yang serius, mantan menteri perminyakan Saudi, Sheikh Zaki Yamani mengatakan kepada Reuters pada Selasa.

Yamani mengatakan ia tidak melihat tanda-tanda segera dari masalah lebih lanjut menyusul aksi protes bulan lalu yang menyerukan reformasi politik, tetapi mengatakan bahwa ketidakpuasan yang mendasari itu tetap belum terpecahkan.

"Jika sesuatu terjadi di Arab Saudi itu akan mendorong harga minyak ke 200 dolar AS hingga 300 dolar AS. Saya tidak mengharapkan hal ini untuk saat ini, tapi siapa yang akan mengharapkan Tunisia?" kata Yamani kepada Reuters di sela-sela konferensi Pusat Studi Energi Global (CGES) yang dia pimpin.

"Peristiwa-peristiwa politik yang terjadi di sana dan kita tidak

perkirakan mereka untuk menyelesaikannya. Saya rasa ada beberapa kejutan di ufuk," katanya dalam pidato.

Raja Saudi Abdullah menawarkan 93 miliar dolar AS sedekah pada Maret upaya untuk mencegah kerusuhan menggoyang dunia Arab.

Sejauh ini, demonstrasi di kerajaan Arab Saudi sangat kecil skalanya dan polisi dapat dengan mudah membubarkan protes Syiah di provinsi timur penghasil minyak bulan lalu.

Tetapi Yamani mengatakan bahwa keengganan masyarakat untuk berpartisipasi dalam protes populer (rakyat) hanya menyembunyikan ketidakpuasan yang mendasari.

"Beberapa orang santai tentang situasi di Arab Saudi karena mencap Islam Saudi melarang orang untuk pergi ke jalan dan bicara," katanya dalam pidato.

Minyak diperdagangkan pada tertinggi dua setengah tahun di atas 121 dolar AS per barel pada Selasa. Pemberontakan Libya telah menutup ekspor minyak, memicu kekhawatiran terhadap gangguan di produsen utama lainnya.

Yamani, yang bertanggung jawab atas kebijakan minyak Saudi dari 1962 hingga 1986, terkenal perkiraannya pada 1990 bahwa minyak mentah, hampir 20 dolar AS di saat itu, bisa naik ke 100 dolar AS per barel jika invasi Irak terhadap Kuwait menyebabkan perang.

Dalam peristiwa tersebut, minyak melonjak hanya di 41 dolar AS karena ladang minyak Saudi lolos dari kerusakan dalam Perang Teluk pertama dan itu 18 tahun kemudian minyak akhirnya memecahkan level 100 dolar AS.

Sementara beberapa analis pada konferensi CGES skeptis bahwa protes akan pecah di Saudi pada skala yang sama seperti di Mesir

atau Libya, Jaafar Al Taie, managing director Manaar Energy Consulting, mengatakan perubahan politik di kerajaan itu tak bisa dielakkan.

"Saya tidak berpikir bahwa apa yang Raja lakukan sekarang adalah cukup untuk mencegah pemberontakan. Arab Saudi adalah sebuah bom waktu, tapi satu itu terus-menerus berulang," kata Al Taie, yang

perusahaannya memberikan saran kepada perusahaan-perusahaan minyak asing yang beroperasi di kawasan tersebut.

Arab Saudi adalah pemimpin efektif Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan satu-satunya negara dengan kapasitas produksi cadangan signifikan.

Riyadh telah meningkatkan produksi untuk mengganti beberapa produksi Libya yang hilang tapi banyak pedagang dan analis meragukan potensinya untuk meningkatkan produksi lebih lanjut.

Yamani mengatakan pihaknya berjuang untuk cepat mendapatkan volume ekstra kualitas (grade) baru dari minyak mentah sweet dengan sulfur rendah dan densitas rendah yang dibutuhkan penyuling Eropa yang kehilangan minyak Libya ke pasar.

"Ini tidak mudah bila ada gangguan dari pasokan minyak di Libya ... Kita jangan lupa bahwa minyak Libya sangat ringan (light) dan itu adalah jarak pendek. Ada penggantinya, tetapi tidak tanpa kesulitan."

Leo Drollas, wakil direktur eksekutif di CGES, mengatakan kerajaan telah memberikan lebih dari setengah atau 550.000 barel per hari dari barel ekstra yang dipompa oleh negara-negara Teluk untuk menggantikan pasokan yang hilang dari Libya. Kuwait dan Uni Emirat Arab juga memberikan kontribusi produksi tambahan.(*)
(Uu.A026/M012)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011