Jakarta (ANTARA News) - Sebanyak 162 pembantu rumah tangga (PRT), pemerhati, akademisi serta majikan menggugat pemerintah dan DPR karena dinilai gagal memberikan perlindungan dan hak-hak para pekerja rumah tangga baik di dalam maupun di luar negeri.
"Pemerintah gagal membentuk dan menyediakan instrumen hukum berupa undang-undang yang melindungi PRT dan belum melakukan tindakan proaktif untuk melindungi hak asasi manusia PRT," kata kuasa hukum penggugat dari LBH Jakarta Pratiwi Febri, usai mendaftarkan gugatan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa.
Pendaftaran gugatan telah masuk ke panitera dengan Nomer gugatan 146/PDT 4/2011.
Menurut Pratiwi, para penggugat ini melaporkan setidaknya tujuh instansi pemerintah dan satu lembaga negara, secara berurutan yaitu Presiden dan Wakil Presiden, Menteri Luar Negeri, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kepala BNP2TKI dan DPR .
Mereka menuntut pemerintah dan DPR segera mengesahkan sejumlah undang-undang terkait tenaga kerja, merevisi UU 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri dan segera meratifikasi Konvensi PBB tahun 1990 tentang Perlindungan Hak-hak Pekerja Migran dan anggota keluarganya.
"Tanpa instrumen hukum itu, para pekerja tidak bisa menuntut hak-haknya dan tidak mendapat perlindungan hukum jika suatu saat terjadi masalah hukum," katanya.
Para majikan takut dihukum, walaupun tidak ada aturan yang jelas bagaimana mereka memenuhi hak-hak para pekerjanya, kata Pratiwi.
Dia juga mengatakan dengan tidak adanya instrumen hukum yang disebutkan di atas, maka kasus kekerasan terhadap para PRT seperti Sumiati, Nirmala Bonet, Kikim Komalasari, Suningsih, Sunarsih dan yang lainnya tidak akan berakhir.
(J008)
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2011