perlu upaya konkrit mengatasinya melalui program penanaman kembali lahan kritis
Pangkalpinang (ANTARA News) - Sebanyak 65 persen dari 1.642.414,17 hektare hutan di Provinsi Bangka Belitung (Babel), kritis sebagai dampak penambangan bijih timah, penebangan kayu ilegal dan pembukaan ladang perkebunan berpindah-pindah.

"Kondisi hutan seperti itu sangat mengkhawatirkan, sehingga perlu upaya konkrit mengatasinya melalui program penanaman kembali lahan kritis tersebut," ujar Kadinas Kehutanan Babel, Andri Wahyono di Pangkalpinang, Senin, dalam jumpa pers yang diselenggarakan Kantor Diskominfo Babel.

Ia menjelaskan, status hutan di Babel dibagi lima kreteria yaitu areal sangat kritis kurang lebih 112.838,86 hektare atau 6,93 persen dari luas wilayah daratan 16.424,14 kilo meter persegi, lahan kritis dalam kawasan hutan sekitar 99.146,97 hektare atau 6,089 persen.

Selanjutnya, lahan agak kritis dalam kawasan hutan sekitar 359.918,71 hektare 22,1 persen dari wilayah daratan, lahan potensial kritis dan tidak kritis (lahan lebih produktif) seluas 1.155.426,94 hektare atau 70,97 persen.

"Hasil analisa penutupan lahan (Land Cover Analysis), daratan Babel terdiri 18 jenis penutupan lahan yang didominasi pertanian lahan kering seluas 510.835,1 hektare (22,51) persen, hutan lahan kering sekunder 148.924,19 hektare (9,07 persen), perkebunan 126.191,24 hektare (7,68 persen) pertambangan 110.753,77 hektare (6,74 persen) dan lahan lain-lainnya," ujarnya.

Ia mengatakan, lahan kritis yang terluas terdapat di Kabupaten Bangka Tengah seluas 34.111,02 hektare, disusul Kabupaten Bangka Selatan seluas 24.895,13 hektare, Kabupaten Bangka seluas 16.474,15 hektare.

Selanjutnya Kabupaten Bangka Barat seluas 14.250,8 hektare, Kabupaten Belitung Timur 12.044 hektare, Kabupaten Belitung 7.688,35 hektare dan Kota Pangkalpinang 3.375,21 hektare.

"Penentuan kriteria lahan kritis sesuai dengan Peraturan Dirjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Nomor SK.167/V-Set/2004 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan Data Spasial Lahan Kritis, yang dilakukan setiap tahun secara berkala atau minimal tiga tahun sekali," katanya.
(KR-HDI/I013)

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011