Jakarta (ANTARA News) - Bank Indonesia menegaskan perbankan tidak bisa mengumumkan angka-angka palsu dalam publikasi suku bunga dasar kredit (SBDK) karena semua komponen kredit yang ditampilkan bisa dihitung dan diperiksa oleh BI.
"Harga pokok dana untuk kredit (HPDK) atau `cost of fund` dan biaya `overhead` yang dikeluarkan bank itu bisa dihitung jadi tidak bisa angka imajinasi atau cuma dipas-paskan saja. Kita bisa memeriksa. Jadi bank tidak bisa bohong," kata Direktur Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan Bank Indonesia Wimboh Santoso di Jakarta, Kamis.
Dijelaskannya, kewajiban perbankan untuk mempublikasikan SBDK sudah dimulai Kamis ini dengan memuatnya di "website" bank dan di semua counter-counter bank.
Menurut Wimboh, untuk periode Maret ini ada 43 bank yang wajib mengumumkan SBDK karena memiliki aset di atas Rp10 triliun dari rencana semula 44 bank.
"Dari data 28 Februari ada 43 bank yang punya aset Rp10 triliun dan ini bisa berubah setiap saat tergantung perkembangan asetnya," katanya.
Sampai Kamis siang, lanjutnya, masih ada empat BPD yang belum mengumumkan SBDKnya dan diharapkan sampai pukul 24.00 WIB sudah mencantumkan SBDK-nya baik di "website" dan kantor-kantornya.
Dari pantauan BI, untuk kredit korporasi paling rendah 7,32 persen dan paling tinggi 12,3 persen.
Kredit ritel paling rendah 9,73 persen, paling tinggi 21,9 persen.
Sedangkan untuk kredit konsumsi KPR paling rendah 8,73 persen, dan paling tinggi 14,1 persen.
Sementara konsumsi non-KPR paling rendah 9,72 persen dan paling tinggi 23,6 persen.
Dari angka yang sudah diumumkan ini, BI akan melakukan verifikasi untuk melihat masing-masing bank untuk mendorong efisiensi bank itu sehingga bisa lebih berperan optimal memberikan kredit.
"Penurunan suku bunga kredit bukan target jangka pendek. Tujuan paling dekat adalah agar bank lebih kompetitif dan optimal memberikan kredit yang lebih murah," katanya.
Kebijakan SBDK, lanjutnya, diharapkan bisa terus meningkatkan pertumbuhan kredit untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang terus bertambah sesuai dengan pertumbuhan ekonomi, katanya.
Wimboh juga melihat rasio Net interest margin (NIM) dan rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO) masih kurang kompetitif dengan negara lain.
"Dari fakta-fakta ini diharapkan SBDK bisa meningkatkan kompetisi bank nasional di tingkat global. Tren BOPO harus turun," katanya.
Suku bunga yang dibebankan kepada debitur (lending rate) adalah penjumlahan dari SBDK ditambah dengan premi risiko. Sedangkan SBDK terdiri dari tiga komponen yaitu angka akhir hasil penjumlahan harga pokok dana untuk kredit (HPDK), biaya overhead yang dikeluarkan bank dalam proses pemberian kredit, dan marjin keuntungan (profit margin).
Dengan demikian, besarnya suku bunga kredit yang dikenakan kepada debitur belum tentu sama dengan SBDK. Adapun premi risiko merepresentasikan penilaian bank terhadap prospek pelunasan kredit oleh calon debitur yang antara lain mempertimbangkan kondisi keuangan debitur, jangka waktu kredit, dan prospek usaha yang dibiayai.
Untuk tahap awal, bank yang pada dan/atau setelah tanggal 28 Februari 2011 berdasarkan posisi Laporan Bulanan Bank Umum (LBU) mempunyai total aset Rp10 triliun atau lebih wajib melakukan publikasi informasi SBDK dalam rupiah.
Jenis kredit yang wajib diumumkan terdiri atas tiga jenis yaitu kredit korporasi, kredit ritel, dan kredit konsumsi (KPR dan non-KPR).(*)
(D012/A035)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011