Jakarta (ANTARA) - Personalisasi layanan kesehatan akan memungkinkan masing-masing pasien menerima pengobatan tepat untuk dirinya sekaligus prediksi terhadap suatu respon obat yang tak diinginkan, menurut Herawati Sudoyo, M.D, Ph.D dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman.
"Karena telah dilakukan tes farmakogenomik. Tes-tes memiliki latar belakang genom seperti ini sekarang tersedia. Kedokteran makin lama makin maju. Kita bisa lihat apakah setiap pasien mendapatkan keuntungan dari pengobatan yang diberikan," kata dia dalam diskusi daring bertajuk "Innovating Diagnostics, Shaping Healthcare, & Saving Lives", Sabtu.
Data penelitian memperlihatkan, ada delapan macam obat pada masing-masing populasi yang diperiksa. Pada populasi Indonesia, peneliti menemukan ada dua obat yang mungkin harus diberikan lebih hati-hati, salah satunya obat anti-epilepsi karena bisa menyebabkan hipersensitivitas.
"Frekuensinya tinggi pada Suku Mentawai dan Nias. Bila data ini diketahui oleh klinisi maka kita bisa berhati-hati memberikan obat tersebut," tutur Herawati.
Dalam hal ini, pelayanan kesehatan melibatkan suatu sistem yang mengevaluasi pasien sehingga klinisi dapat memberikan pengobatan dengan dosis yang tepat dan intervensi sebelum keputusan dibuat. Terapi pun dapat diaplikasikan untuk keamanan obat dan efikasinya.
Baca juga: Eijkman : Perkuat kapasitas untuk perluas cakupan tes lacak COVID-19
Baca juga: WASCOVE Eijkman raih top 5 replikasi inovasi pelayanan publik terpuji
Di sisi lain, personalisasi layanan kesehatan juga bisa memungkinkan semua orang memiliki akses kesehatan yang lebih baik dengan biaya yang relatif rendah. Pendekatan ini mengubah model sapu jagat dalam penanganan penyakit menjadi lebih terpersonalisasi.
Nantinya, kita seorang pasien datang ke sebuah fasilitas kesehatan, gejala dan hasil laboratorium mereka akan dibandingkan dengan jutaan pasien serupa dan dicocokkan dengan jenis perawatan yang terbukti memiliki potensi keberhasilan tinggi.
Herawati berpendapat, pergeseran ke personalisasi layanan kesehatan kemudian menjadi penting, mengingat jumlah pasien penyakit tidak menular (PTM) di Indonesia meningkat setiap tahunnya.
Kemudian, berbicara tentang kesiapan Indonesia dalam bidang personalisasi layanan kesehatan, dia mengutip hasil Personalized Healthcare Index yang diterbitkan inisiatif FutureProofing Healthcare dan dipimpin oleh panel 15 ahli kesehatan terkemuka di Asia-Pasifik.
Hasilnya menunjukkan, Indonesia menduduki peringkat ke-11 dari 11 negara yang diukur. Indeks tersebut menggambarkan kesiapan dari empat pilar; informasi kesehatan, layanan kesehatan, teknologi yang dipersonalisasi, dan konteks kebijakan.
"Kita memiliki kekurangan-kekurangan seperti tersedianya data, infrastuktur dan sumber daya manusia kepakaran yang dapat menggerakan layanan kesehatan personalisasi," ujar Herawati.
Lebih lanjut, dr. Yodi Mahendradhata, M.Sc, Ph.D., FRSPH dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan, Universitas Gadjah Mada menyatakan, kolaborasi multisektor berperan sangat penting untuk mencapai pemerataan kesehatan bagi semua orang.
“Tentunya kita belajar dari pandemi COVID-19, di mana jelas bahwa sistem kesehatan perlu berinovasi agar tetap relevan dengan kebutuhan masyarakat di masa mendatang,” kata dia.
Menurut Yodi, untuk mewujudkan personalisasi layanan kesehatan, diperlukan perubahan mendasar pada perencanaan, pengaturan dan pemberian pelayanan kesehatan agar lebih baik.
"Pemerintah kita telah melakukan pekerjaan yang luar biasa dengan JKN, dan saat kita bergerak menuju cakupan kesehatan global, ada peluang untuk menerapkan personalisasi layanan kesehatan, bahkan melampaui sistem yang lebih maju. Dengan cara ini, kita dapat mempersiapkan sistem pelayanan kesehatan yang lebih berkelanjutan," demikian kata dia.
Baca juga: RSCM ingin hadirkan aplikasi layanan kesehatan terintegrasi
Baca juga: Enam layanan kesehatan bertransformasi hadapi wabah di masa depan
Baca juga: Asosiasi Dinkes Indonesia bahas layanan kesehatan setelah pandemi
Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2021