Tanggal 12 November diperingati sebagai Hari Pneumonia Sedunia. Momen peringatan ini seharusnya mengingatkan kembali bahwa ada penyakit lain yang juga mengancam kesehatan anak-anak bahkan hingga menyebabkan kematian seperti pneumonia atau radang paru-paru.
Hingga saat ini, secara global, pneumonia masih menjadi faktor kematian utama pada anak-anak di bawah usia lima tahu. Unicef menyebutkan, pneumonia merenggut nyawa lebih dari 800.000 anak balita per tahun. Sebagian besar kematian ini terjadi di Asia Selatan, Sub-Sahara Afrika, dan Asia Tenggara.
Data Kementerian Kesehatan pada 2019 mencatat 153.987 kasus pneumonia pada bayi berusia kurang dari satu tahun dan 314.455 kasus pada anak berusia 1 sampai 5 tahun. Jumlah kematian anak akibat penyakit pneumonia mencapai 550 kasus. Indonesia berada di peringkat ke-7 dunia sebagai negara dengan beban pneumonia tertinggi secara global.
Dokter spesialis anak konsultan respirologi Prof. Dr. dr. Cissy Kartasasmita, Sp. A(K), M,Sc menjelaskan pneumonia adalah penyakit radang infeksi akut yang menyerang paru. Infeksi itu membuat jaringan paru mengalami peradangan sehingga penyaluran oksigen dalam tubuh terganggu yang dapat menyebabkan kematian pada anak.
Gejala awal pneumonia sulit dibedakan dengan penyakit pernapasan lain seperti batuk, demam, dan sesak napas. Namun, terdapat gejala khas pneumonia yakni napas cepat melebihi normal.
Frekuensi napas cepat tersebut bisa di atas 60 kali per menit untuk bayi di bawah dua bulan, di atas 50 kali per menit pada anak dua bulan hingga kurang 12 bulan, serta di atas 40 kali per menit untuk anak usia 1 sampai 5 tahun.
Selain napas cepat, hal yang patut diwaspadai yakni tarikan dinding dada ke dalam saat anak bernapas. Gejala ini biasanya muncul pada pneumonia derajat berat.
“Jadi, bila anak dengan batuk dan atau kesulitan bernafas mengalami napas cepat, orangtua jangan sampai lengah. Sebaiknya segera periksa ke dokter atau fasilitas kesehatan,” kata Prof. Cissy yang juga Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Bandung.
Prof Cissy mengemukakan pneumonia dapat disebabkan karena infeksi dari bakteri, virus, dan jamur ke dalam paru-paru. Faktor risiko terjadinya pneumonia antara lain bayi dengan berat badan lahir rendah, bayi yang tidak mengonsumsi air susu ibu (ASI) secara eksklusif selama enam bulan, bayi yang tidak mendapatkan imunisasi dasar, kurang gizi, polusi dalam ruangan seperti asap rokok, dan tinggal di lokasi yang terlalu padat penduduk.
Baca juga: Vaksin pneumonia salah satu cara tingkatkan kekebalan tubuh lansia
Baca juga: Dinkes Ponorogo percepat pelaksanaan vaksinasi PCV hingga akhir tahun
Pencegahan melalui vaksinasi
Hasil penelitian menunjukkan 70 persen kasus pneumonia disebabkan oleh infeksi bakteri. Bakteri lebih sering menyebabkan kasus pneumonia menjadi berat. Bakteri yang paling sering jadi penyebab pneumonia adalah streptococcus pneumonia (pneumokokus) dan haemophilus influenza type b (Hib).
Pneumonia bisa diobati dengan pemberian antibiotik dan perawatan pasien. Namun, pencegahan penyakit pneumonia bisa dilakukan dengan vaksinasi. Vaksin yang dapat mencegah pneumonia pada bayi di antaranya DPT, campak, Hib, dan pneumokokus.
Ketiga vaksin pertama yang disebutkan di atas sudah masuk masuk dalam program vaksinasi dasar yang digratiskan oleh pemerintah bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Namun, pada 22 Juni lalu pemerintah melalui Kementerian Kesehatan mengumumkan bahwa vaksinasi pneumokokus konjugasi (PCV) juga diberikan sebagai program imunisasi dasar bagi seluruh anak di Indonesia. Implementasi vaksinasi PCV secara nasional akan dimulai tahun depan dengan pemberian tiga dosis yakni saat anak berusia dua bulan, tiga bulan, dan 12 bulan.
Vaksinasi PCV dilakukan introduksi di delapan wilayah di Provinsi Jawa Timur pada Juni 2021 dan enam wilayah di Provinsi Jawa Barat pada Juli 2021.
“Semula vaksinasi PCV secara nasional direncanakan pada 2024, tapi ini bisa dimajukan ke 2022. Tentunya ini akan menjadi berkah luar biasa bagi seluruh anak Indonesia,” kata Prof. Cissy yang pernah menjabat sebagai Ketua Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI).
Berdasarkan hasil penelitian, bakteri pneumokokus menjadi penyebab sekitar 50 persen kasus pneumonia di Indonesia. Infeksinya bakteri tersebut mudah menular melalui percikan liur atau droplet.
Bakteri pneumokokus bisa menginfeksi seseorang tanpa menimbulkan gejala, namun orang tersebut dapat menularkan kepada orang lain yang kondisi tubuhnya lebih rentan seperti anak balita dan kaum lanjut usia.
Selama ini, vaksinasi PCV hanya bisa diakses oleh masyarakat di fasilitas kesehatan dengan biaya mandiri sekitar sekitar Rp700.000 per satu dosis, padahal dosis lengkap vaksinasi PCV membutuhkan tiga kali suntikan.
“Masuknya vaksinasi PCV dalam program imunisasi dasar yang akan diterapkan tahun depan dipastikan akan membawa manfaat besar untuk penanganan pneumonia. Vaksinasi tidak hanya melindungi anak dari pneumonia tapi juga memperkecil kemungkinan anak menularkan infeksi pneumokokus pada anak atau orang lain,” kata Prof. Cissy.
Sekretaris Eksekutif Indonesia Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI), Dr. dr. Julitasari Sundoro, M.Sc, M.P.H mengatakan pihaknya menyambut baik program vaksinasi PCV secara nasional yang dilakukan oleh pmerintah.
“Kalau vaksinasi PCV bisa dilakukan secara nasional dan merata, tentunya akan menurunkan angka kejadian pneumonia. Tak hanya itu, vaksinasi ini juga bisa menurunkan kasus radang telinga dan radang otak yang juga disebabkan oleh bakteri pneumokokus,” kata Julitasari.
Julitasari berharap program vaksinasi PCV disertai dengan edukasi kepada orang tua di seluruh Indonesia agar mereka mengikuti program pemerintah sehingga anak-anak bisa mendapatkan vaksin PCV.*
Baca juga: Beijing dapati kasus pneumonia antraks mematikan
Baca juga: Kemenkes: Pneumonia masih jadi pembunuh pertama pada anak
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2021