Padang (ANTARA News) - Direktur Eksekutif Komunitas Siaga Tsunami (Kogami) Indonesia, Patra Rina Dewi menyatakan adalah mimpi terlalu jauh untuk dikejar jika Indonesia belajar penanggulangan bencana seperti Jepang.
Nyatanya, sekarang sedang marak topik "belajar dari Jepang", sebab pemerintah Indonesia masih lamban dalam kesiapsiagaan terhadap bencana, kata Patra di Padang, Rabu.
Ia menambahkan, hanya mimpi jika pemerintah masih bersembunyi di balik alasan-alasan yang sepertinya wajar untuk dikemukakan.
Selama ini, katanya, jawaban dari belum baiknya kesiapsiagaan itu seperti, "harap maklum, kita sedang berbenah". "UU Penanggulangan Bencana baru disahkan pada 2007", "Badan Nasional Penanggulangan Bencana baru didirikan 2008", "Bersabarlah, jangan selalu menyalahkan pemerintah".
Menurut dia, jawaban sebagai pembelaan atas kesiapsiagaan itu sangat klasik, diperparah sikap beberapa anggota masyarakat yang skeptis dengan mengatakan, "bencana itu adalah takdir dan kalau takdir akan mati diterjang tsunami pasti akan mati juga".
Anehnya, tambah dia, ketika gempa besar terjadi, orang-orang yang skeptis itu pula yang ikut lari tunggang-langgang dan tak lagi pasrah akan takdir.
Ia menyebutkan, contohnya di Sumbar pascagempa 30 September 2009 banyak orang terkena euphoria pengetahuan mitigasi bencana begitu juga setelah Tsunami Mentawai pada 25 Oktober 2010.
Tapi, hasil mitigasi itu cepat dilupakan dan akan kembali kaget jika bencana terjadi lagi, kata Patra.
Kenyataan di Indonesia ini bagai suatu mimpi yang jauh untuk dicapai jika ingin belajar kesiapsiagaan seperti Jepang.
Ia menjelaskan, Jepang mulai menyadari wilayahnya rawan bencana sejak gempa 1 Septemner 1923 yang menyebabkan 140.000 korban tewas dan bangsa ini terus belajar kesiapsiagaan bencana dengan hasil nyata.
Gempa September 1923 itu menjadi titik balik keseriusan penanganan bencana gempa dan tsunami di Jepang dan mereka sungguh-sunguh menata manajemen penanggulangan bencananya.
Pada 1961 pemerintah Jepang menerbitkan UU Penanggulangan Bencana dan memberikan memberikan mandat kepada Perdana Menteri sebagai Kepala Penanggulangan Bencana Pusat/ Central Disaster Management Council (CDMC) dan mengkoordinir seluruh menteri terkait termasuk Menteri Penanggulangan Bencana, beserta para pakar yang relevan.
CDMC ini membuat panduan Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) yang berfokus pada pengurangan risiko bencana untuk kepentingan secara nasional. Panduan ini diadopsi daerah dalam pembuatan Rencana Penanggulangan Bencana Daerah yang memuat juga panduan sistem yang terintegrasi yang dievaluasi dan direvisi secara periodik.
Dengan sistim itu, maka dari tingkat nasional sampai daerah, semua panduan akan memakai istilah yang sama, prosedur dan mekanisme yang sama sehingga akan memudahkan koordinasi baik sebelum terjadi bencana ataupun setelah terjadi bencana di jepang, tambahnya.
Keseriusan Jepang juga terlihat dari Rencana Pembangunan Nasional Jepang yang benar-benar mengarusutamakan pengurangan risiko bencana dalam mencapai visi nasional "Menjadikan Jepang sebagai tempat yang aman dan nyaman untuk hidup".
Untuk mengingatkan kesiapsiagaan terhadap bencana, Jepang sejak 1960, setiap tanggal 1 September ditetapkan sebagai National Disaster Management Day (Hari Penanggulangan Bencana Nasional) dan dari tanggal 30 September sampai tanggal 5 Agustus diselenggarakan Disaster Management Week (Minggu Penanggulangan Bencana).
Kegiatan dilaksanakan pada minggu tersebut seperti seminar, lomba poster, pameran dan puncaknya pada tanggal 1 September diselenggarakan simulasi evakuasi (tanggap darurat) serentak di seluruh daerah yang rawan bencana gempa dan atau tsunami untuk menguji apakah pemerintah dan masyarakat benar-benar tahu apa yang harus dilakukan jika bencana sesungguhnya terjadi.
Dengan kesiapsiagaan Jepang seperti itu, tidak heran jika kemudian pujian terhadap negara ini dalam penanganan gempa dan tsunami 11 Maret 2011 muncul secara beruntun dari seluruh belahan dunia, karena tsunami yang terjadi hanya menelan korban 10 persen dari warga yang terekspose tsunami, demikian Patra Rina Dewi. (H014/K005/K004)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011