Semarang (ANTARA News) - Wakil Ketua DPR RI Pramono Anung mengatakan, Rancangan Undang-Undang tentang Intelijen tidak boleh menghambat proses demokrasi yang tengah berjalan di Indonesia.
"Dalam negara demokrasi memang dibutuhkan kontrol, termasuk keinginan memiliki instrumen terkait itu. Namun, harus dilakukan secara cermat," kata Pramono di Semarang, Selasa.
Menurut dia, instrumen kontrol itu tetap tidak boleh menghambat proses demokrasi yang tengah berjalan, terutama melemahkan orang-orang yang berada di luar pemerintahan.
"Kalau nantinya RUU Intelijen itu ternyata bisa melemahkan orang-orang yang berada di luar pemerintahan, memang harus kita tolak," kata politikus PDI Perjuangan tersebut.
Ia mengatakan, media, pers, dan publik yang menjadi pilar keempat demokrasi tidak boleh dilemahkan dan selama ini kontrol terhadap pilar demokrasi tersebut sudah berjalan baik.
Berkaitan dengan aksi teror, ekstremisme yang terjadi belakangan ini, kata dia, sebenarnya bukan disebabkan intelijen maupun peraturan di Indonesia terkait itu yang lemah.
"Bukan karena intelijen maupun peraturannya yang lemah, namun disebabkan intelijen kita tidak bisa mengikuti perkembangan dengan peralatan yang ada," katanya.
Ia mengatakan, intelijen kita selama ini masih mengandalkan `by` mata, `by` pendengaran, dan rekaman, sementara negara-negara lain sudah maju. Singapura misalnya, sudah `by knowledge` (iptek).
Dengan peralatan yang canggih, kata dia, negara-negara lain bisa mengetahui, misalnya peredaran amonium nitrat dalam jumlah besar karena diduga akan dilakukan untuk membuat bahan peledak.
Karena itu, ia mengatakan apapun esensinya, RUU Intelijen tidak boleh menghambat proses demokratisasi yang tengah berjalan, termasuk membolehkan penangkapan orang tanpa dasar kuat.
"Kalau kemudian orang ditangkap karena perbedaan pemikiran, perbedaan pandangan, maupun posisi politik, negara ini kan jadi seperti otoritarian," kata Pramono.(*)
(U.KR-ZLS/I007)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011