Surabaya (ANTARA News) - Mantan wakil presiden Try Sutrisno menilai pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung menyalahi Pancasila, terutama sila keempat yang menganut prinsip perwakilan dan permusyawaratan.

"Pilkada langsung itu melahirkan oposisi, padahal Pancasila itu intinya kebersamaan dan kekeluargaan sehingga Indonesia tidak mengenal oposisi atau mayoritas-minoritas," katanya di Surabaya, Selasa.

Ia mengemukakan hal itu di hadapan 300-an peserta Sarasehan Nasional Forum Intelektual Indonesia (FII) yang dihadiri Menko Polhukam Marsekal TNI (Purn) Djoko Suyanto. FFI itu merupakan tindak lanjut Konferensi Guru Besar Indonesia III di Manado.

Menurut Wapres ke-6 RI itu, Pancasila itu bukan liberalisasi yang condong ke kanan dan juga bukan komunisme yang condong ke kiri, karena Pancasila merupakan ideologi yang moderat dan mementingkan kebersamaan atau kekeluargaan.

"Itu juga berlaku dalam ekonomi, karena itu ekonomi Indonesia adalah ekonomi kerakyatan yang tidak terlalu pro negara seperti kapitalis dan tidak terlalu pro pasar seperti sosialis, namun ekonomi untuk rakyat dengan peran negara untuk kepentingan khalayak," katanya.

Oleh karena itu, kata Wapres yang menjabat pada kurun 1993-1998 itu, para pemuka lintas agama, tokoh masyarakat, akademisi, dan birokrat yang tergabung dalam FII sudah berkali-kali mengingatkan pemerintah melalui rekomendasi Kongres Guru Besar Indonesia.

"Intinya, kami merekomendasikan perlunya amendemen UUD 1945 untuk dikaji ulang, karena amendemen UUD 1945 yang bersifat perubahan dan bukan penyempurnaan sebatas addendum akan mengancam NKRI dengan perpecahan," katanya.

Ia mengatakan Pancasila sebenarnya merupakan ideologi terbuka, namun perubahan UUD 1945 itu sudah diatur dalam pasal 37 atau pasal peralihan yakni perubahan yang dimaksud adalah menyempurnakan atau melengkapi, bukan mengubah.

"Karena itu, strategi penyempurnaan itu dilakukan oleh MPR dan bila sudah selesai ditawarkan kepada masyarakat melalui referendum," katanya dalam sarasehan yang juga dihadiri Gubernur Jatim Soekarwo dan mantan Gubernur Jatim Basofi Sudirman dan Imam Utomo itu.

Sementara itu, Menko Polhukam Marsekal TNI (Purn) Djoko Suyanto mengingatkan masyarakat untuk pandai dan dewasa dalam menyikapi dinamika demokrasi Indonesia.

"Itu karena berakhirnya Orde Baru mendorong masyarakat yang dulunya terkekang haknya menjadikan telah mendapat kebebasan kembali dengan paham baru berupa demokrasi," katanya.

Untuk bisa dijalankan secara ideal, katanya, demokrasi itu merupakan sebuah proses atau agenda yang tidak akan final.

Bahkan, dinamika yang muncul cukup tinggi, seperti keinginan masyarakat mendirikan banyak partai, makin banyaknya tuntutan pemekaran daerah dengan adanya otonomi daerah, hingga tingginya kontrol masyarakat terhadap pejabat publik.

"Jadi pejabat sekarang jangan kaget, kalau masyarakat semakin gencar memberikan kritik terhadap pejabat yang menyeleweng," katanya.

Dalam kesempatan itu, Guru Besar Ekonomi UI Prof Dr Sri-Edi Swasono mengingatkan pentingnya kembali kepada demokrasi ala Indonesia.

"Demokrasi itu ada yang individualis dan kekeluargaan. Kalau Indonesia, demokrasi yang ada merupakan demokrasi kekeluargaan yang mementingkan musyawarah untuk mufakat, sedangkan demokrasi negara lain adalah demokrasi individualis dan kapitalis," katanya.

(E011/B013/S026)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2011