Jakarta (ANTARA News) - Anggota Komisi I DPR RI Muhammad Syahfan Badri Sampurno menegaskan bahwa sudah seharusnya daftar inventaris masalah (DIM) Rancangan Undang-Undang (RUU) Intelijen Negara dijiwai dengan semangat anti-diktatorisme.

"RUU Intelijen Negara ini juga harus memperkuat penegakan hukum dalam bingkai 'civil society'," ujar Syahfan di Gedung DPR Jakarta, Selasa.

Dalam pandangan anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) ini, pada awalnya DIM RUU Intelijen Negara itu disepakati Komisi I. Tetapi dari DIM RUU Intelijen yang diajukan pemerintah itu, ternyata masih ada hal-hal yang perlu dikritisi.

Sejumlah hal yang harus dikritisi itu antara lain wewenang penahanan selama 7x24 Jam, intelijen mempunyai hak intersepsi atau penyadapan, tidak adanya badan pengawas inteligen, tidak adanya lembaga koordinasi intelijen di masing-masing kesatuan (intelijen Polri, intelijen Kejaksaan, intelijen KPK dan intelijen TNI) serta tidak adanya keterbukaan informasi aktivitas intelijen.

"Menurut hemat saya, ada lima catatan penting dan substansial yang perlu kita kritisi dari usulan DIM RUU Intelijen Negara dari pemerintah, yaitu wewenang penahanan dan penyadapan, tidak ada pengawas intelijen dan lembaga koordinasi, serta tidak ada keterbukaan informasi intelijen," ujarnya.

Lebih jauh Anggota F-PKS Dapil Bengkulu ini, berpendapat BIN tidak perlu mempunyai wewenang penahanan, wewenang tersebut cukup ada dilembaga Kepolisian.

Kemudian BIN tidak perlu mempunyai hak penyadapan, karena setiap penyadapan harus melalui perizinan pengadilan. Perlu di bentuk badan pengawas intelijen bisa langsung dibawa DPR (Sub Komisi) atau komisi independen yang anggotanya dipilih oleh DPR.

Selanjutnya, perlu adanya wadah koordinasi intelijen dari masing-masing lembaga. Di samping itu perlu keterbukaan rahasia intelijen, yaitu 20 tahun setelah kejadian.

"BIN tidak perlu punya wewenang penahanan, tidak perlu punya hak penyadapan. Kegiatan intelijen perlu diawasi sub Komisi di DPR. Perlu kiranya wadah penyatuan atau koordinasi aktivitas intelijen di masing-masing kesatuan lembaga. Terakhir kami pikir perlu adanya keterbukaan informasi BIN setelah 20 tahun, dalam hal ini sangat erat kaitannya dengan UU keterbukaan informasi publik," ujarnya.

Selain itu, Syahfan juga menghimbau untuk melihat sinkronisasi RUU intelijen dengan UU atau RUU lain yang sudah ada semisal UU keterbukaan informasi, UU kepolisian dan lain sebagainya. Sehingga di dapatkan suatu formalisasi tentang peran masing-masing lembaga intelijen.

"Kita ingin punya inteligen yang kuat, mampu mendeteksi setiap potensi ancaman dan gangguan keutuhan negara. Tapi kita juga ingin itu semua dapat mewujudkan masyarakat sipil yang demokratis, terbuka, dan taat pada hukum. Jangan sampai RUU inteligen ini membatasi hak-hak sipil, melanggar HAM dan lain sebagainya," ujarnya.

(D011/S019)

Pewarta: Suryanto
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2011