Direktur Jenderal IAEA (Badan Energi Atom Internasional), Yukiya Amano, berharap KTT tersebut sudah dapat terselenggara dalam waktu tiga bulan ini, demikian dilaporkan oleh pusat media PBB di New York, Senin.
"Krisis Fukushima ini memberikan sebuah tantangan besar terhadap badan dan masyarakat internasional," kata Amano dalam jumpa pers yang berlangsung di markas besar IAEA di Wina, Austria.
Ia berbicara mengenai pembangkit listrik tenaga nuklir Fukushima yang rusak karena gempa bumi dan tsunami di Jepang pada 11 Maret hingga reaktor itu memuntahkan pencemaran radioaktif.
Amano menegaskan semua pihak perlu memetik pelajaran dengan cermat dari insiden yang terjadi pada 11 Maret tersebut maupun situasi setelahnya agar keamanan nuklir dapat diperkuat di seluruh dunia.
"Karena itu, saya mengusulkan konferensi tingkat tinggi IAEA tentang keselamatan nuklir digelar di sini di Wina sebelum musim panas," katanya.
Ada beberapa agenda utama yang ia sebutkan untuk dibicarakan di KTT nanti, antara lain penilaian awal menyangkut insiden reaktor nuklir, dampak dan konsekuensinya; pelajaran apa saja yang perlu diambil dari insiden itu; peluncuran proses penguatan keamanan nuklir; serta penguatan tanggap darurat terhadap kecelakaan-kecelakaan nuklir.
"Tugas ke depan akan sangat penting. Saya sangat yakin bahwa IAEA adalah tempat yang paling tetap untuk menindaklanjuti insiden Fukushima. Kita punya keahlian yang diperlukan, keanggotaan yang luas dan transparansi juga terjamin," kata Amano.
IAEA atau International Atomic Energy Agency saat ini beranggotakan 151 negara, termasuk Indonesia.
Amano sendiri telah secara langsung mengunjungi Jepang untuk meninjau situasi setelah reaktor Daiichi Fukushima mengalami kerusakan serius pasca gempa bumi dan tsunami di sejumlah wilayah di Jepang.
Dalam pertemuannya dengan Dewan Gubernur IAEA pekan lalu setelah kunjungannya dari Jepang, Amano menekankan pentingnya kerangka tanggap darurat internasional ditetapkan kembali serta komunikasi global semakin ditingkatkan.
Kerangka tanggap darurat yang ada saat ini, ujarnya, adalah kerangka yang dibentuk terutama setelah tragedi Chernobyl tahun 1986 di Uni Soviet --yang disebut-sebut sebagai bencana nuklir yang terbesar berdampak terhadap warga sipil-- serta sebelum munculnya dampak dari revolusi di bidang informasi.
Kerangka yang ada saat ini, menurut dia, hanya mencerminkan realitas pada era 1980-an, bukan era abad ke-21.
(TNY)
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2011