Berdasarkan UU Nomor 05 tahun 1990 tentang konservasi SDA hayati dan ekosistemnya sehingga TWA Seblat tidak dapat digunakan untuk kegiatan pertambangan batu bara
Kota Bengkulu (ANTARA) - Bertepatan dengan pelaksanaan Konferensi Tingkat Tinggi Iklim atau COP ke-26 di Glasgow, Skotlandia, jejaring Sumatera Terang untuk Energi Bersih (STuEB) bersama Watchdoc meluncurkan film dokumenter terbaru secara terbatas berjudul "Bara Dwipa" yang menceritakan tentang dampak nyata yang dialami oleh masyarakat di Pulau Sumatera akibat pengembangan industri fosil batu bara.

Lewat film dokumenter tersebut masyarakat dan aktivis di Sumatera menyerukan pesan penting untuk mengingatkan buruknya dampak proyek batu bara yang sudah berdiri dan tengah direncanakan oleh Presiden Joko Widodo.


Meskipun saat ini cadangan daya listrik di Sumatera mencapai 4.263 Mega Watt (MW) dari 25 unit PLTU yang telah beroperasi, dengan kapasitas tersebut, surplus pasokan listrik sudah mencapai 55 persen, namun pemerintah masih bersikeras membangun 22 unit PLTU baru dengan total kapasitas 6.789 MW dimana mayoritas PLTU tersebut teridentifikasi didukung oleh institusi-institusi keuangan asal negara Tiongkok.

Konsolidator STuEB, Ali Akbar menyebutkan bahwa peluncuran film dokumenter ini sekaligus menjadi puncak dari serangkaian kegiatan aksi damai mengawal COP ke-26 yang telah dilakukan di berbagai daerah di Pulau Sumatera, Indonesia.


Dengan mengirim pesan "Menolak Punah" untuk mengingatkan para pemimpin dunia terutama Presiden Indonesia agar serius menangani dampak krisis iklim yang semakin parah terjadi di berbagai belahan dunia dengan meninggalkan kecanduan terhadap batubara.

“Presiden terus bicara krisis iklim di forum global dan sangat percaya diri mengklaim bahwa pemerintahannya serius dalam mitigasi perubahan iklim. Namun, yang dilakukan Jokowi di dalam negeri justru sebaliknya. Jokowi dan pemerintahannya terus membangun pembangkit energi kotor yang hanya akan memperburuk iklim global dan mengancam keselamatan warganya sendiri," kata Ali di Bengkulu, Kamis.

Masyarakat di sekitar PLTU batu bara menurut dia telah lama menderita akibat pembakaran batu bara. Abu dan debu batu bara telah menjadi makanan sehari-hari yang membuat paru-paru mereka lebih cepat rusak serta menyebabkan kerusakan terhadap sumber mata pencaharian warga baik di pertanian maupun di pesisir pantai.

Ia menambahkan bahwa hingga saat ini Presiden Joko Widodo belum memiliki komitmen serius dan tindakan nyata dalam upaya penanganan dampak krisis iklim seperti menciptakan paket kebijakan seperti UU Minerba dan UU Cipta Kerja, justru terus memberi karpet merah bagi industri energi kotor batubara.

Juru bicara #BersihkanIndonesia dari Trend Asia, Ahmad Ashov Birry mengatakan bahwa Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya Bakar, menyatakan bahwa pembangunan besar-besaran yang dilakukan oleh presiden tidak boleh berhenti atas nama deforestasi atau atas nama emisi karbon.

"Pola pembangunan yang dilakukan terus memicu ketimpangan yang berakar pada kerusakan lingkungan, dan tidak mampu melindungi hak dasar seluruh masyarakat Indonesia. Para oligarki ekstraktif tambang dan batubara terus menikmati paradigma pemerintah selama ini terutama kini di Pulau Sumatera," katanya.


Penyebab pemanasan global

Hal senada juga disampaikan oleh Direktur Eksekutif Yayasan Srikandi Lestari, Sumiati Surbakti bahwa pembakaran batubara nyata sebagai bahan pencemar berat dan kontributor emisi global penyebab pemanasan global serta ekitar 44 persen emisi karbon itu merupakan sumbangan dari pembakaran batubara.

"Kami meminta pemerintah Indonesia untuk tidak mempermainkan masyarakat global tentang komitmen iklim dan segera ambil tindakan nyata untuk menghentikan pembangunan PLTU baru di Indonesia terutama di Sumatera," katanya.

Pemerintah Indonesia menyatakan akan berhenti membangun PLTU pada 2030,namun faktanya di Pulau Sumatera, pemerintah berencana membangun 22 PLTU baru dengan total kapasitas mendekati 7 GW sampai tahun 2028.


Status proyek-proyek PLTU ini bervariasi yaitu 3 unit dengan total kapasitas 2000 MW dalam status konstruksi, dan 19 unit dengan total kapasitas 4790 MW berstatus pra-konstruksi.

Dengan perhitungan masa beroperasi PLTU hingga 20-30 tahun ke depan, maka dapat dipastikan PLTU-PLTU baru ini akan jauh melewati tenggat komitmen penghentian pembangunan pada 2030 serta akan membuat Indonesia secara otomatis tidak dapat mencapai target sesuai Perjanjian Paris.

Hal itu, termasuk keberadaan PLTU batu bara yang sudah memberikan dampak buruk terhadap lingkungan yaitu Sumsel 1 di Sumatera Selatan, Nagan Raya di Aceh, Teluk Sepang di Bengkulu, Jambi 1 di Jambi, Pangkalan Susu di Sumatera Utara.

Gangguan kesehatan-lingkungan

Proyek PLTU batu bara di Sumatera memberikan dampak langsung kepada masyarakat disekitar lokasi seperti petani kehilangan tanah, anak-anak terpapar abu, konflik horizontal, pencemaran sungai yang terjadi.


Di area PLTU batu bara Pangkalan Susu Sumatera Utara, operasi pembangkit berbahan fosil ini telah mengakibatkan menyempitnya ruang tangkap nelayan karena aktivitas angkutan batu bara melalui jalur laut yang menyebabkan turunnya pendapatan nelayan hingga 70 persen.

Dalam film dokumenter Bara Dwipa, keluhan ini juga terekam dari testimoni Dody Susanto yang mengeluhkan merosotnya hasil tangkapan ikan dan udang di sekitar Pulau Sembilang akibat pencemaran air bahang dan abu PLTU yang masuk ke laut.


Tidak hanya dampak lingkungan, limbah abu terbang PLTU batu bara juga mengganggu kesehatan masyarakat terutama anak-anak yang menderita gatal-gatal, paru hitam serta warga yang menderita ISPA akibat abu sisa pembakaran batu bara.

Kemudian PLTU batu bara Teluk Sepang di Bengkulu membuang limbah cair ke laut tanpa izin dan menyebabkan kematian biota laut, seperti menggusur tanam tumbuh milik petani untuk tapak proyek, pengangkutan batu bara melanggar aturan dan ketidakpatuhan terhadap dokumen Amdal.

Sementara di PLTU batu bara Ombilin Sumatera Barat, dampak proyek PLTU batu bara juga menghantui kesehatan anak-anak di Desa Sijantang Koto. Hasil pemeriksaan pada 2019 terhadap puluhan anak sekolah dasar.

Keanekaragaman hayati

Selain permasalahan pembangkit listrik di sektor hilir, pengembangan energi fosil batu bara juga mengancam kelestarian satwa langka dilindungi gajah Sumatera di kawsan Taman Wisata Alam (TWA) Seblat.

Lokasi rencana aktivitas pertambangan milik perusahaan PT Inmas Abadi seluas 4.051 hektare (ha) tersebut berada di kawasan konservasi TWA Seblat seluas 788 hektare.


"Kami meyakini ketika aktivitas pertambangan itu sampai terjadi, bukan hanya mengancam kelestarian kawasan hutan di TWA Seblat saja tetapi juga mengancam badan Sungai Seblat. Padahal sebagian besar masyarakat sekitar masih mengantungkan hidupnya ke sungai untuk memenuhi kebutuhan air bersih," kata perwakilan Kanopi Hijau Indonesia Bengkulu, Olan Sahayu.

Padahal berdasarkan UU Nomor 05 tahun 1990 tentang konservasi SDA hayati dan ekosistemnya sehingga TWA Seblat tidak dapat digunakan untuk kegiatan pertambangan batu bara.


Selain itu, hingga saat ini PT Inmas Abadi tidak memiliki izin pinjam pakai kawasan untuk kawasan pertambangan batu bara baik itu TWA Sebelat maupun di Hutan Produksi Terbatas (HPT) Lebong Kandis dengan seluas 1.917 ha.

Kepala Kesatuan Pemangku Hutan Konservasi (KPHK) Seblat, Asep Nasir menjelaskan bahwa saat ini populasi gajah liar di wilayah bentang alam Seblat hanya tersisa 30 hingga 40 ekor lagi.


Hal itu disebabkan karena habitat Gajah Sumatera yang dilindungi tersebut terganggu serta dengan adanya aktivitas pertambangan dapat mengancam habitat alami gajah Sumatera di Bentang Seblat.

"Jangan sampai nantinya akibat aktifitas seperti pertambangan, keberadaan Gajah Sumatera kedepannya hanya menjadi cerita bagi generasi penerus," kata Asep.

Sementara Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah mengatakan telah menyurati menteri Energi Sumber Daya Manusia (ESDM) agar meninjau kembali izin pertambangan batubara PT Inmas Abadi.

Rohidin menyebutkan bahwa dirinya mengirim surat kepada kementerian ESDM sebab tidak ada aktivitas apapun oleh PT Inmas Abadi sejak izin dikeluarkan dan tidak ada progres apapun apalagi aktivitas tambang.

Surat tersebut dikirim beberapa bulan lalu ke kementerian ESDM sebab kewenangan perizinan tambang saat ini berada di Kementerian ESDM.

Menurut gubernur, pada 2017, Pemerintah Provinsi Bengkulu hanya menciutkan luas areal tambang PT Inmas Abadi dari 5.000 ha menjadi 4.051 ha.

Pemerintah Provinsi Bengkulu telah membuat keputusan bersama dengan kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) untuk melakukan pengurangan luas sebab lahan izin PT Inmas Abadi masuk ke dalam kawasan koridor gajah.

Selain itu, lokasi tambang batu bara, pada 2017 telah ditetapkan sebagai kawasan ekosistem esensial untuk konservasi gajah.

Baca juga: Menunggu keajaiban dari Glasgow

Baca juga: Aktivis gelar kemah tolak tambang batu bara di Bengkulu

Baca juga: COP minta pedagang satwa liar dilindungi dihukum maksimal

Baca juga: Kanopi Bengkulu kritik investasi listrik batu bara Tiongkok

Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2021