Belajar dari pengalaman reaktor nuklir di Jepang, Indonesia harus memikirkan berbagai antisipasi desain sistem keselamatan yang belum terpikirkan di negara lain
Yogyakarta (ANTARA News) - Kebutuhan energi listrik yang masih belum memadai dan merata di seluruh wilayah Indonesia mendorong pemikiran memanfaatkan nuklir sebagai alternatif pembangkit listrik.
Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) adalah salah satu solusi untuk dapat menciptakan energi yang cukup besar hingga mencapai seribu megawatt (MW) per unit.
"Dengan demikian, PLTN sebagai pemasok energi khususnya listrik dibutuhkan keberadaannya di Indonesia," kata pakar nuklir dari Jurusan Teknik Fisika Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Andang Widi Harto.
Menurut dia, kapasitas listrik yang tersedia di Indonesia saat ini sebesar 30 ribu MW dan jumlah tersebut baru bisa memenuhi kebutuhan 60 persen wilayah di Indonesia.
Oleh karena itu, ke depan kebutuhan listrik diprediksi akan makin tinggi seiring dengan perkembangan industri.
Pada 2025 dibutuhkan sekitar 100 ribu megawatt listrik (MWE, megawatt electrical) sehingga Indonesia akan mengalami kekurangan pasokan sebesar 70 ribu MW.
Pemenuhan itu kemungkinan hanya bisa didapat dari energi nuklir, karena jika hanya mengandalkan geotermal, makrohidropower, dan tenaga surya, pasokannya tetap kurang.
Energi geotermal menghasilkan pasokan listrik sekitar 27 ribu MW.
Potensi sebesar itu tidak mungkin bisa dikembangkan seluruhnya atau hanya dapat terealisasi sekitar 9.000 MW.
Potensi energi makrohidropower yang dimiliki sekitar 75 ribu MW dan realisasinya hanya 10 ribu MW.
Total dari gabungan kedua energi itu hanya menghasilkan 19 ribu MW atau masih ada kekurangan pasokan sekitar 50 ribu MW, katanya.
Jika menggunakan energi surya, pada kapasitas satu gigawatt (GW) perlu luas area 20 kilometer persegi. Satu panel surya berukuran satu meter persegi hanya menghasilkan 50 watt listrik.
Namun, jika menggunakan PLTN, satu unitnya yang menghasilkan seribu MWE hanya memerlukan dua kilometer persegi area.
"Pasokan nuklir di tingkat dunia saat ini melebihi stok dan terdapat bank uranium. Hal itu merupakan kesempatan yang baik untuk dikembangkan jika didukung dengan persyaratan yang matang," katanya.
Dukung PLTN
Sehubungan dengan hal itu, Jurusan Teknik Fisika Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada mendukung rencana pemerintah membangun PLTN untuk memenuhi kebutuhan energi di Indonesia.
"Pembangunan PLTN di Indonesia diharapkan bisa diarahkan untuk mengatasi kebutuhan energi di Indonesia yang cukup kritis," kata Ketua Jurusan Teknik Fisika Fakultas Teknik UGM Sihana.
Pertimbangan untuk membangun PLTN tersebut berangkat dari prediksi kebutuhan listrik di masa datang yang tidak sepenuhnya bisa dipenuhi dari sumber daya lain.
Namun, menurut dia, pendirian PLTN di Indonesia memerlukan beberapa persyaratan yang matang.
"Belajar dari pengalaman reaktor nuklir di Jepang, Indonesia harus memikirkan berbagai antisipasi desain sistem keselamatan yang belum terpikirkan di negara lain," katanya.
Jepang memang telah memprediksi skala gempa tetapi tidak memikirkan mengenai antisipasi tsunami.
"Oleh karena itu, perlu dipikirkan hal-hal semacam itu, baik terkait tata ruang, sistem pendingin maupun beberapa persiapan teknis yang harus lebih baik," katanya.
Andang mengatakan pada prinsipnya sistem keselamatan pada PLTN meskipun bervariasi dalam konfigurasi tetap memiliki kemiripan yakni masih tergantung pada sistem suplai daya cadangan setelah "shutdown".
Artinya, masih tergantung pada mesin diesel darurat.
Oleh karena itu, kegagalan mesin diesel akan menimbulkan konsekuensi yang mirip dengan PLTN Fukushima Daichi, Jepang.
PLTN Fukushima merupakan PLTN generasi dua yang awal dengan sistem "boiling water reactor" (BWR) yang dibangun pada 1970.
Jenis-jenis yang lebih baru dari BWR meskipun masih termasuk generasi dua, telah mengalami perbaikan dibandingkan dengan jenis sebelumnya, antara lain ukuran pengukung yang lebih besar.
"Di Amerika Serikat (AS), misalnya, yang juga banyak mengoperasikan PLTN generasi dua, telah diterapkan prosedur `safeguard` tambahan yang memungkinkan operator mendinginkan teras dalam kondisi tanpa `back up` daya," katanya.
Pada kasus Fukushima, ledakan yang terjadi merupakan reaksi kimia antara hidrogen dan oksigen, bukan ledakan nuklir.
Hal itu ditandai dengan rendahnya tingkat radiasi yang dilepaskan, sangat berbeda dengan ledakan bom atom Hiroshima dan Nagasaki.
Ledakan kimia hidrogen itu tidak sekuat ledakan uap pada reaktor Chernobyl pada 26 April 1986 di Uni Sovyet (sekarang Ukraina).
Pada reaktor Fukushima hanya melemparkan atap dan dinding gedung, sedangkan kerangka baja gedung masih utuh.
Kasus Fukushima terjadi di antaranya karena "lay out" mesin diesel ditempatkan secara integral, seharusnya, enam unit PLTN yang tersedia memiliki mesin diesel masing-masing.
Penempatan "lay out" mesin diesel tersebut perlu dilakukan agar sistem keselamatan tidak gagal ketika terjadi kerusakan atau mesin diesel tidak berfungsi.
"Selain itu, lokasi PLTN yang dibangun sebaiknya berada pada lokasi yang relatif lebih tinggi," katanya.
Pakar geologi dari UGM Subagyo Pramumijoyo mengatakan jika pemerintah tetap pada keinginan membangun reaktor nuklir PLTN, tentu dapat memilih tempat yang paling aman dari bencana, terutama gempa bumi.
Menurut dia, dengan berbagai pertimbangan ekonomi, Indonesia memang diharapkan bisa memiliki reaktor nuklir.
Indonesia tentu dapat belajar bagaimana membangun reaktor nuklir, tidak saja membangun, tetapi juga bagaimana bisa membekali para pengelola atau operator reaktor nuklir dengan disiplin tinggi.
"Operator reaktor nuklir perlu diberi pelatihan atau pendidikan khusus secara intensif. Dengan demikian, seorang operator diharapkan dapat mengelola reaktor nuklir dengan baik dan mampu mengambil keputusan yang bijaksana dalam segala macam situasi darurat," katanya.
(B015*H010/B009)
Pewarta: Bambang Sutopo Hadi
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011