Jakarta (ANTARA News) - Kiprah dan sepak terjang tokoh Sjafruddin Prawiranegara yang memiliki peran penting dalam kehidupan negara Indonesia di era Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang kurang dijelaskan di buku sejarah Indonesia, kini diangkat dalam buku novelisasi sejarah berjudul Presiden Prawiranegara karya Novelis Akmal Nasery Basral.
"Saya ingin menggambarkan sebagai novelis bahwa ada satu masa dalam kehidupan pak Sjafruddin dalam kehidupan Indonesia sebagai negara itu yang selama ini kurang dijelaskan dan saya ingin menyampaikan bahwa da periode ini," kata penulis Novel Akmal Nasery Basral kepada ANTARA News usai acara peluncuran bukunya di Jakarta, Minggu.
Akmal mengungkapkan bahwa dirinya ingin menggambarkan bahwa pernah pada suatu masa pemimpin RI yang pro rakyat dan memiliki pengorbanan yang tidak kenal pamrih. Di sekolah selalu diajarkan bahwa bangsa yang besar itu bangsa yang menghargai pahlawannya, ketika membaca buku sejarah kita hanya menemukan nama-nama pahlawan yang sudah dikenal seperti Bung Karno, Bung Hatta, Syahrir dan H Agus Salim.
Padahal, tokoh seperti Sjafruddin Prawiranegara ini pernah menjadi Menteri Keuangan, Gubernur BI pertama dan ada banyak jabatan yang pernah beliau pegang, bahkan termasuk era PDRI ketika diajarkan runtutan-runtutan nama presiden di sekolah tidak disebut terutama indikatornya ada pada diorama resmi kepala negara yang terdapat di Monumen Nasional dan Arsip Nasional.
"Sebetulnya kalaupun misalnya pemerintah tidak menulis itu sebagai presiden tapi ketua PDRI mestinya tetap bisa ditulis, yang masih menjadi masalah adalah sebutan presidennya, tapi sebetulnya ia kepala negara setelah bung karno," ujarnya.
Persoalannya pada sejarah Sjafruddin, sepuluh tahun setelah PDRI ada yang namanya problem manajemen nasional PRRI, tapi pemerintah pusat menganggap hal itu sebagai pemberontakan separatis jadi tahun 1948, dia mendirikan PRRI 1958-1959 terjadi gejolak di daerah seperti Permesta di Manado dan PRRI di Minangkabau.
Menurutnya, keterlibatan dalam PRRI yang stigma terhadap Sjafruddin Prawiranegara sehingga peran pentingya hilang begitu saja oleh era Orde Lama Bung Karno, yang kedua dalam era Soeharto, ia terlibat dalam petisi 50 bersama Ali Sadikin dan oleh Orde Baru hal itu juga dianggap upaya makar dan itulah yang menyebabkan peran Sjafruddin dalam sejarah Indonesia dihilangkan.
Akmal mencontohkan kasus Presiden AS Richard Nixon saja pernah terbukti salah dalam skandal Water gate tetapi dalam sejarah Amerika Serikat, tetap namanya ditulis.
Aklmal mengungkapkan bahwa Sjafruddin pun tidak mendapat pengahrgaan pahlawan nasional, padahal pernah menjabat menteri keuangan, gubernur BI pertama dan yang tampak aneh di komplek BI ada menara namanya Sjafruddin Prawiranegara dan di Kementerian Pertahanan ada gedung Sjafruddin Prawiranegara karena ia pernah menjadi menteri pertahanan di Kabinet PDRI.
"Itu kan lucu ada bagian pemerintah yang mengakui, secara legitimasi tidak diakui, tetapi itu porsinya sejarawan yang perlu mengklarifikasi," katanya.
Sejarah terlupakan
Sementara itu Fadli Zon, seorang penulis dan aktivis sosial politik yang juga menjadi narasumber dalam talkshow buku novelisasi sejarah itu mengatakan bahwa Akmal sudah berhasil mengangkat satu periode sejarah yang terlupakan atau bahkan mungkin dilupakan melalui judul yang cukup provokatif "Presiden Prawiranegara".
"Kalau pemerintah RI tak mau mengakui Sjafruddin sebagai pahlawan, saya kira itu keliru besar, penentuan pahlawn itu bukan lewat loby atau tekanan politik tetapi melalui suatu kajian, dan peran PDRI itu amat penting," katanya.
Di lain pihak, putri kedua Sjafruddin Prawiranegra, Sofiah Y Prawiranegara yang juga turut menjadi narasumber dalam acara itu mengatakan bahwa mendiang ayahnya senang dengan musik itu, ia pernah menciptakan lagu Mars Masyumi yang menggambarkan cita-cita bangsa indonesia dan niat ayah saya adalah bahagia bersama bangsa Indonesia.
Sedangkan, Akmal Nasery Basral merupakan seorang novelis yang Lahir di Jakarta 28 April 1968 dimana ia pernah menekuni dunia jurnalistik selama 16 tahun diantaranya sebagai wartawan Tempo dan telah menelurkan karya-karya monumental seperti Naga Bonar, Sang pencerah, dan yang terbaru adalah novelisasi sejarah Presiden Prawiranegara.(*)
(yud/r009/brt)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011