"Semua risiko sebenarnya selalu bisa diatasi dengan teknologi."

Jakarta (ANTARA News) - Rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) disebut-sebut sebagai ancaman baru dalam membangun kedaulatan karena Indonesia akan semakin mengalami ketergantunga, khususnya terhadap teknologi, sumber daya manusia (SDM), pembiayaan (utang luar negeri) dan bahan baku yang sepenuhnya dikendalikan pihak asing.

Pernyataan tersebut muncul kembali menyusul musibah gempa dan tsunami Jepang 11 Maret 2011, yang mengakibatkan kegagalan sistem pendingin tiga unit reaktor PLTN Fukushima yang memicu ledakan hidrogen dan ancaman tersebarnya radioaktif.

Pertanyaannya sekarang, apakah benar PLTN yang rencananya pernah ditetapkan dibangun di Semenanjung Muria, Jepara, Jawa Tengah dan rencana berikutnya di Bangka Belitung, membuat Indonesia mengalami ketergantungan terhadap pihak asing?

Ketua Dewan Pengawas Masyarakat Peduli Energi dan Lingkungan (MPEL), Sutaryo Supadi, menegaskan bahwa Indonesia sudah mampu menguasai teknologi PLTN, yang sebenarnya merupakan perluasan dari teknologi PLTU.

Saat persiapan pembangunan reaktor riset Siwabessy berkapasitas 30 MW di Serpong, Banten, pada periode 1970-1980-an Indonesia sudah mengirim sedikitnya 256 pemudanya ke sejumlah negara untuk mempelajari PLTN, ujarnya.

"Bahkan, sebagian mereka yang telah lulus dicangkokkan di berbagai perusahaan besar di sektor energi, seperti Westing House Amerika Serikat. Mereka ikut merancang PLTN-PLTN yang menggunakan teknologi ini. Mestinya kita bangga bahwa kita punya kemampuan," kata Pakar Nuklir ini.

Soal ketergantungan teknologi, ia menyatakan, saat ini memang hanya ada beberapa saja pihak yang memiliki teknologi PLTN, yakni Westinghouse dari Amerika Serikat, Areva dari Perancis, Mitsubishi dari Jepang, teknologi dari Kanada, Rusia dan Korea Selatan.

Namun, ia menilai, jika PLTN pertama dibangun di Indonesia, maka bukan berarti negara ini bakal tergantung seterusnya dengan teknologi luar, karena alih teknologi harus menjadi persyaratan.

Ia memberi contoh, Korea Selatan yang ketika pertama kalinya membangun PLTN sangat tergantung pada teknologi Westing House AS, namun ketergantungan tersebut terus turun dari 90 persen menjadi 75 persen lalu sekarang justru menjadi pengekspor teknologi PLTN yang sangat baik ke sejumlah negara di dunia.

Sutaryo mengingatkan, di era globalisasi ini tidak mungkin suatu negara tidak memiliki ketergantungan terhadap negara lain, contohnya PLTN di Swedia yang juga mengimpor kondensor PLTN buatan Siemens Cilegon.

Jangka panjang

Sementara itu, anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Dr Herman Agustiawan, menegaskan bahwa semua pihak harus melihat persoalan PLTN dari sisi kebutuhan jangka panjang.

"Yang dibutuhkan bangsa Indonesia saat ini adalah listrik yang murah dan yang mampu memberi peluang pertumbuhan ekonomi, industrialisasi, lapangan pekerjaan dan kesejahteraan," katanya.

PLTN, jelas Herman, adalah solusinya, khususnya di tengah persoalan terbatasnya cadangan energi fosil serta terbatasnya kemampuan energi alternatif seperti air, geothermal, surya dan angin untuk memenuhi kebutuhan industrialisasi.

Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), tambah dia, sudah sulit diperluas di Jawa karena kondisi sungai yang tak memungkinkan dan risiko sosial yang tinggi terkait pembangunan bendungan dan penggusuran, namun di luar Jawa masih terbuka.

Sedangkan, ia menilai, energi alternatif panas bumi dibebani biaya pencarian sumber-sumber serta pengeboran yang terpencar dan sangat mahal karena resiko kegagalannya cukup besar, sehingga investor tidak berminat meski pemerintah telah menaikkan harga pembelian energi ini menjadi 9,3 sen dolar AS per kilo watt jam/hour (kwh).

Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), menurut Herman, sangat mahal dengan harga produksi sekitar 50 sen dolar AS per kWh terkait harga panel surya, sehingga hanya cocok di daerah kepulauan yang tidak memiliki jaringan listrik PLN.

Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (angin) atau PLTB, dikatakannya, sulit diharapkan, terkait kondisi angin Indonesia yang tidak memadai.

"Semua energi alternatif ini juga hanya bisa disediakan dengan pembangkit berskala kecil-kecil, misalnya geothermal rata-rata 100 MW, energi matahari dan angin malah jauh lebih kecil lagi misalnya 10 kW. Padahal kita bicara sektor industri dengan kebutuhan pembangkit ribuan MW," katanya.

Menurut Herman, jika Indonesia tidak pernah memulai PLTN, maka tidak akan pernah ada peluang transfer teknologi dan memperbesar kandungan lokal, bahkan untuk membangun PLTN secara mandiri.

Apalagi, ia menambahkan, sekitar 25 persen dari pembangunan PLTN adalah pembangunan konstruksi yang sudah pasti teknologinya dikuasai oleh bangsa Indonesia dan yang bahan bakunya melimpah di dalam negeri.

Ia juga mengingatkan, jika SDM bangsa Indonesia yang telah dikembangkan selama ini ternyata terus-menerus "idle" (tidak terpakai) maka bisa saja suatu hari nanti mereka akan justru diimpor oleh negara-negara Asean yang saat ini sudah memulainya, seperti Vietnam.

Cadangan uranium

Mengenai ketergantungan impor bahan baku uranium dalam operasional PLTN, menurut Herman, tidak perlu dipersoalkan, karena uranium masih merupakan bahan baku yang murah di pasar dunia dibanding jika Indonesia mengayakannya sendiri.

"Mengapa harus menjadi hal yang dipermasalahkan, justru cadangan uranium kita itu lebih baik disimpan untuk anak cucu kita kelak. Kan sudah enak ada kesepakatan multilateral yang mengatur soal itu daripada ribet kita harus menambang dan mengayakan sendiri," katanya.

Data Batan menyebut, Indonesia memiliki 53.000 ton cadangan uranium yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku PLTN, yakni sebanyak 29.000 ton di Kalimantan Barat dan 24.000 ton sisanya ada di Bangka Belitung. Papua juga diindikasikan memiliki cadangan uranium yang cukup besar, namun masih diteliti.

Soal ketergantungan itu, tambah Sutaryo, tak perlu diresahkan karena negara sebesar AS pun mengimpor tujuh juta barel minyak setiap hari dari negara lain.

Soal ketergantungan sumber pembiayaan investasi PLTN yang dianggap sangat besar, sekitar Rp30 triliun untuk kapasitas 1.000 MW dan kemungkinan menambah bengkak utang luar negeri, menurut dia, juga tidak perlu diresahkan.

"Justru kita yang harus pandai-pandai dalam bernegosiasi. Apakah mau ditangani sendiri, cawe-cawe antara pemerintah, konsorsium swasta, PLN. Atau dengan investasi asing dengan sistem BOT . Apalagi sekarang ini luar negeri yang mau investasi di PLTN berebut, kan seharusnya bargaining position semakin tinggi," katanya. BOT yang dimaksudnya adalah build, operation and transfer (membangun, menggunakan dan mengalihkan) secara kemitraan untuk menjadi milik sendiri.

Menurut Herman Agustiawan, biaya investasi PLTN sekitar Rp30 triliun itu masih kalah jauh jika dibanding dengan alokasi untuk subsidi BBM yang digelontorkan pemerintah per tahunnya.

Sutaryo Supadi menambahkan, jika Indonesia bertekad menjadi negara besar maka Indonesia tidak perlu takut pada berbagai risiko yang selalu mengiringi setiap rencana besar dengan menjadikannya sebagai tantangan.

"Semua risiko sebenarnya selalu bisa diatasi dengan teknologi. Misalnya, risiko gempa dan tsunami, atasi dengan mencari lokasi yang paling aman serta dengan membangun konstruksi yang mampu menahan gempa dan tsunami besar, atau gunakan teknologi yang mampu mengeliminasi kemungkinan radiasi dan yang mengatasi limbah radioaktif," katanya.

PLTN Fukushima yang dibangun 40 tahun lalu dirancang mampu menahan gempa 8,2 SR dan ketinggian tsunami 7 meter, tapi ternyata gempa 11 Maret lalu berskala 9 SR dan ketinggian tsunami 9 meter.

"Itulah yang namanya tantangan yang harus diprediksi dan diatasi.Tapi, jika Indonesia tidak berkeinginan menjadi bangsa besar, maka tidak perlulah mencoba-coba menembus risiko itu," katanya menambahkan. (*)

Oleh Oleh Dewanti Lestari
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2011