Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) telah mengontrol embargo senjata terhadap Libya dan sepakat pekan ini untuk menerima komando zona larangan terbang di atas wilayah negara itu, tapi Washington dibiarkan memegang kendali dalam melakukan serangan udara terhadap pasukan darat pemimpin Libya Muamar Gaddafi, demikian Reuters melaporkan.
Amerika Serikat mengharapkan untuk menyerahkan kendali serangan udara secepat mungkin dan mengatakan, Jumat, mereka mengharapkan NATO akan mengambil komando (serangan) itu, meskipun hal tersebut masih dibicarakan.
"Seperti yang kami ramalkan, NATO akan terseret makin dalam dan makin dalam ke dalam perang di Afrika Utara," kata utusan Rusia untuk NATO, Dmitry Rogozin, pada kantor berita Rusia Interfax.
"Pernyataan-pernyataan yang kami dengar hari ini dari para anggota NATO dan aliansi itu secara keseluruhan dapat menarik blok tersebut ke dalam operasi skala-penuh di wilayah Libya, yang berarti pada dasarnya AS dan sekutunya dapat terseret ke dalam perang ketiga, di samping perang di Irak dan Afghanistan."
Rusia mendukung sanksi PBB terhadap Gaddafi, tapi pemerintahnya awal bulan ini abstain dalam pemilihan di Dewan Keamanan PBB yang mengijinkan zona larangan terbang, yang memungkinkan intervensi bersenjata oleh koalisi Barat. Empat negara lainnya, India, Jerman, Brazil dan China juga abstain dalam pemilihan itu.
Presiden Rusia Dmitry Medvedev telah menyampaikan kekhawatiran mengenai kemungkinan korban tewas warga sipil dan mengatakan pada Presiden AS Barack Obama awal pekan ini bahwa korban seperti itu harus dicegah.
Perdana Menteri Vladimir Putin, pemimpin terpenting Rusia, telah mengabil sikap lebih keras, membandingkan resolusi PBB itu dengan "seruan pada abad pertengahan untuk melakukan perang salib". (*)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011