Lira Turki melemah 0,7 persen dan rand Afrika Selatan turun 0,4 persen
Bengaluru (ANTARA) - Mata uang negara-negara berkembang atau emerging market (EM) diperdagangkan beragam pada Rabu, karena investor menunggu data inflasi AS yang dapat mempengaruhi sikap kebijakan akomodatif Federal Reserve, dan ketika sentimen tertekan oleh lonjakan inflasi di China.
Inflasi gerbang pabrik China mencapai level tertinggi 26 tahun pada Oktober dan kenaikan harga konsumen juga meningkat, terutama karena melonjaknya biaya energi yang disebabkan oleh kekurangan sumber daya batu bara.
Indeks mata uang pasar negara berkembang MSCI datar, dengan investor sekarang menunggu data inflasi AS yang diperkirakan akan menunjukkan lompatan ke 5,8 persen, tertinggi dalam lebih dari tiga dekade.
Sementara sebagian besar mata uang Asia bertahan, lira Turki melemah 0,7 persen, dan rand Afrika Selatan turun 0,4 persen. Penurunan rand terjadi sehari setelah perusahaan utilitas milik negara itu Eskom mengatakan risiko pemadaman listrik akan tetap ada sampai kapasitas 4.000 hingga 6.000 megawatt ditambahkan ke jaringan.
"Saya tidak melihat IHK AS menambah lebih banyak tekanan yang dihadapi mata uang negara-negara berkembang saat ini karena ekspektasi sudah melompat melewati level sebelumnya, tetapi jika inflasi menembus level 6,0 persen hari ini kita pasti akan melihat efek riak di pasar valas dan obligasi di pasar negara berkembang," kata Simon Harvey, analis senior valas di Monex Europe, dikutip dari Reuters.
Tingkat inflasi yang tinggi seperti itu dapat membuat imbal hasil obligasi AS naik, dan menaikkan taruhan kenaikan suku bunga oleh Federal Reserve dalam pertemuan kebijakan mendatang.
Suku bunga pasar negara maju yang lebih tinggi meningkatkan beban utang dan memicu arus keluar modal dari lembaga asing yang diinvestasikan di pasar negara berkembang. Ini juga mempersempit perbedaan suku bunga yang membuat mata uang negara berkembang menarik untuk carry trade.
"Ini adalah kasus mata uang mana yang lebih sensitif terhadap pergerakan imbal hasil dan bank sentral mana yang tidak bergerak sesuai dengan pola inflasi seperti rand dan lira, dengan kenaikan harga-harga China secara alami menyebabkan beberapa tekanan di negara berkembang," Harvey mengatakan.
Rubel Rusia, sementara itu, naik 0,5 persen berkat kenaikan harga minyak. Lelang obligasi OFZ kementerian keuangan juga terlihat mendukung mata uang tersebut.
Indeks dolar yang mengukur greenback terhadap enam mata uang utama rivalnya juga naik, setelah melemah dalam tiga hari terakhir.
Saham-saham negara berkembang menghapus kerugian awal untuk diperdagangkan naik 0,2 persen dengan keuntungan di beberapa saham teknologi di Hong Kong dan Taiwan. Sebagian besar bursa di luar Asia juga naik.
Kekhawatiran penularan dari sektor properti China yang kesulitan likuiditas tetap ada pada China Evergrande Group karena pembayaran obligasi luar negeri pada Rabu, sementara pengembang Fantasia Holdings anjlok hingga 50 persen setelah mengatakan tidak ada jaminan bahwa mereka akan dapat memenuhi kewajiban keuangannya.
Baca juga: Dolar melemah 3 hari beruntun, dekati terendah 1 bulan terhadap yen
Baca juga: Dolar tergelincir jelang data inflasi AS
Baca juga: Lira anjlok ke rekor terendah setelah Erdogan usir 10 dubes barat
Penerjemah: Apep Suhendar
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2021