Lebak (ANTARA News) - Nelayan tradisional Kabupaten Lebak, Provinsi Banten sejak tiga hari terakhir tidak melaut akibat tiupan angin kencang disertai gelombang tinggi.
"Kami tidak berani menangkap ikan karena cuaca buruk dengan kecepatan angin rata-rata 18 knot dan membahayakan keselamatan jiwa," kata Ujang (45), seorang nelayan tempat pelelangan ikan (TPI) Panggarangan Kabupaten Lebak, Jumat.
Ujang mengatakan, ia bersama ratusan nelayan TPI Panggarangan saat ini menganggur menyusul memburuknya cuaca di perairan Samudra Hindia.
Tangkapan ikan makin berkurang dan merugikan jika memaksakan melaut. Selain itu juga membahayakan bagi nelayan yang menggunakan perahu motor. Perahu tersebut tidak kuat menahan kecepatan angin 18 knot atau 36 kilometer per jam.
Di samping itu diprakirakan tinggi gelombang mencapai 2,5 meter dengan jarak pandang empat sampai tujuh meter.
Selama ini, ratusan perahu nelayan terpaksa ditambatkan di TPI sambil menunggu cuaca membaik.
Sebagian nelayan memperbaiki alat tangkap yang kondisinya rusak dan lainnya tinggal di rumah.
"Saya sudah dua hari tidak berani melaut sebab angin cukup kencang," katanya.
Soleh (50) nelayan TPI Pulo Manuk Kecamatan Bayah, Kabupaten Lebak, mengaku dirinya selama ini tidak menangkap ikan akibat gelombang dan tiupan angin cukup tinggi.
Ia mengaku dirinya tidak berani melaut karena jika memaksakan selain risiko jiwa juga merugi karena tangkapan ikan sepi.
"Selama cuaca buruk kami tidak berani melaut, karena khawatir terjadi kecelakaan laut," ujarnya.
Sementara itu, pengamat cuaca dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Serang, Hadiyanti mengatakan, pihaknya meminta nelayan pesisir selatan Kabupaten Lebak waspada karena diprakirakan tinggi gelombang selama satu pekan ke depan berkisar 2,5 sampai 3,0 meter dengan kecepatan angin rata-rata 18 knot.
"Saya mengimbau nelayan pesisir selatan Lebak hingga Pelabuhanratu, Sukabumi, sebaiknya tidak melaut karena sangat membahayakan keselamatan jiwa, terlebih nelayan perahu kincang," katanya. (MSR/Z002/K004)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011