Cirebon (ANTARA News) - Industri pariwisata Indonesia memerlukan pemikir sekaligus pengelola yang handal melalui dunia pendidikan guna memacu kunjungan wisatawan mancanegara dan wisatawan nusantara, kata Guru besar/Ketua Program Studi Manajemen Resort and Leisure Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Prof Dr Dasiharjo MS.

"Kunjungan wisatawan ke Indonesia belum sebanding dengan keadaan alam yang indah dan budaya dan adat istiadat yang beragam. Salah satu faktornya karena industri pariwisata belum banyak sarjana pariwisata," katanya disela-sela Seminar dan Rakernas Himpunan Lembaga Pendidikan Tinggi Pariwisata Indonesia (HIDIKTIPARI) di Cirebon, Jumat.

Karena itulah, UPI sejak 2005 bekerja keras mencetak sarjana pariwisata dengan terlebih dahulu mempelajari mengapa orang belum banyak tertarik datang ke Indonesia, katanya.

Masalah pertama yang menyebabkan kunjungan wisata belum bagus adalah karena penataan pariwisata belum optimal, artinya penataan sektor pariwisata masih berjalan sendiri-sendiri.

Ia mencontohkan, satu objek wisata dikelola oleh berbagai institusi. Akibatnya, apabila ada klaim dari wisatasan, pengelola akan saling lempar tanggung jawab.

Berbeda dengan di negara maju yang dikelola berupa resor dimana para wisatawan dapat memenuhi kebutuhannya di dalam resor tersebut.

Konsep resor itu juga menjadi salah satu perhatian dari UPI untuk terus dikembangkan.

Masalah kedua yang menjadi perhatian UPI adalah aspek pemasaran, karena selama ini semua dipromosikan. Misalnya wisatawan di luar negeri telah dikenalkan masalah topeng, tetapi ketika mereka tiba di Indonesia tidak tahu harus kemana agar dapat menyaksikan topeng sebut.

Ketiga adalah masalah makanan khas daerah yang bernilai gizi tinggi dan belum dikemas untuk keperluan pariwisata.

Maka UPI mengembangkan tiga program studi yang dibutuhkan dunia pariwisata tersebut, yakni program studi Manajemen Resor, program studi Marketing Pariwisata dan program studi Katering yang sampai saat ini telah menghasilkan kuring lebih 200 sarjana pariwisata.

"Dengan lebih banyak menghasilkan sarjana pariwisata, diharapkan kedepan masalah perencanaan mapun pengelolaan tidak lagi mendatangkan pemikir-pemikir pariwisata dari luar negeri," katanya.

Ilmu Pariwisata diakui sebagai ilmu di Indonesia baru 2008, tetapi di luar negeri sudah berpuluh-puluh tahun, katanya, seraya menambahkan di UPI ilmu pariwisata dimasukkan dalam kelompok ilmu sosial.

Di pihak lain, ia mengatakan, selama ini pariwisata ada yang menganggap "sebelah mata," padahal sebenarnya dapat menjadi arena dakwah, tempat silaturahim dan laboratorium.

Karena itu, pada ustadz dan dai jangan hanya memberi penerangan agama di tempat-tempat ibadah saja, tetapi hendaknya menjelaskan objek wisata dengan berbagai pengetahuan agama.

Begitu juga dengan membangun tempat wisata sesungguhnya orang tersebut telah membangun tempat silaturahim, karena berbagai orang akan datang dan berkumpul di tempat itu, katanya.

Sebagai laboratorium sangat bermanfaat bagi para guru guna menjelaskan kepada muridnya tentang berbagai ilmu, katanya.

Objek wisata sebenarnya akan banyak dikunjungi kalau dikelola sesuai ketentuan agama, katanya.

Ia mencontohkan, resor Sariater Tangkuban Parahu Bandung yang bebas alkohol. Semula pengelola khawatir pengunjung akan turun, tetapi kenyataannya malah naik.

Dengan tidak ada alkohol, pengunjung naik karena merasa aman tidak ada yang mabuk-mabukan, biaya bisa ditekan karena pengamanan berkurang, karyawan semakin produktif karena badan segar tanpa alkohol, katanya.

Sementara itu, Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Budpar I Gede Pitana mengatakan, disiplin ilmu pariwisata di luar negeri sebenarnya sudah puluhan tahun, sedangkan di Indonesia baru diakui sejak 1 April 2008.

"Dengan semakin banyak lulusan sarjana pariwisata kita harapkan ke depan industri pariwisata di Indonesia akan semakin bagus dan pengunjung akan terus meningkat," katanya.
(y003)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2011