Jakarta (ANTARA) - Atase Pendidikan dan Budaya Kedutaan Besar RI di Canberra Mukhamad Najib menyampaikan bahwa selama ini ada kesenjangan yang lebar antara penelitian yang dilakukan di kampus atau lembaga penelitian dengan kebutuhan industri.

“Industri seringkali kesulitan untuk melakukan adopsi terhadap temuan hasil penelitian di kampus, salah satunya karena penelitian di kampus dianggap belum memenuhi kebutuhan dunia industri," kata Najib dalam keterangan tertulis dari KBRI Canberra yang diterima di Jakarta, Selasa.

Hal tersebut disampaikan Najib dalam diskusi virtual berjudul “Innovation and Collaboration through Kedaireka” yang diselenggarakan oleh kantor Atase Pendidikan dan Kebudayaan (ATDIKBUD) Canberra bekerja sama dengan Indonesian Academics and Researchers Network Australia (IARNA) pada 5 November lalu.

Saat ini, kata dia, pemerintah mengembangkan Kedaireka sebagai sebuah platform yang dapat mempertemukan peneliti di kampus dengan industri.

Najib berharap Kedaireka ini bisa menjadi jalan yang menghubungkan antara kebutuhan industri dengan hasil penelitian di kampus, sehingga hilirisasi bisa terbentuk dengan baik.

“Sayang sekali kalau hasil penelitian di kampus hanya menumpuk di perpustakaan, padahal sangat potensial untuk memberi kebermanfaatan. Semoga Kedaireka bisa membantu proses hilirisasi hasil-hasil penelitian di kampus," kata Najib.

Baca juga: Atdikbud KBRI Canberra tekankan pentingnya faktor kebaruan dalam riset

Kedaireka diresmikan pada Desember 2020 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan tujuan untuk mendekatkan inovasi yang ada di dalam kampus dengan dunia usaha dan industri.

Hal ini berangkat dari permasalahan kenapa banyak produk dari kampus yang tidak bisa terhilirisasi secara optimal.

Dalam paparan materinya, Achmad Adhitya selaku ketua Tim Kerja Akselerasi Kampus Merdeka dan kordinator Kedaireka mengungkapkan bahwa saat ini pemerintah sangat mendorong pengembangan inovasi sebagai kekuatan penting dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Adhit mencontohkan Belanda sebagai sebuah negara dengan luas geografis yang kecil, namun mampu menjadi salah satu eksportir pertanian terbesar di dunia.

Hal itu terjadi menurut koordinator Kedaireka ini karena kekuatan inovasi yang dikembangkan di Belanda.

"Mereka sangat serius dalam mengembangkan teknologi dan inovasinya di bidang pertanian, sehingga bisa menghasilkan produk pertanian dengan kualitas dan kuantitas yang berkali lipat, dan menjadi eksportir terbesar di dunia," ujar Adhit.

Baca juga: KBRI Canberra gelar seminar batik warisan budaya

Dia juga menjelaskan bahwa pada November Presiden Jokowi meluncurkan program transformasi dana pendidikan yang dimaksudkan untuk mendukung program kampus merdeka, dan pada Desember Mendikbud melanjutkan dengan meluncurkan program Kedaireka.

“Salah satu permasalahan besar dari upaya membangun ekosistem inovasi di Indonesia yaitu keterbatasan akses. Dari 3000 kampus yang dijajaki, hanya 5 persen kampus yang memiliki akses untuk bekerja sama dengan industri secara berkelanjutan. Jadi ada 95 persen kampus yang kesulitan untuk mendorong agar hasil penelitiannya termanfaatkan oleh industri,” kata Adhitya.

Dia menambahkan saat ini sudah ada 3143 perusahaan yang tergabung dalam platform Kedaireka dan hampir 40 perusahaan yang bergabung setiap harinya. Perusahaan ini terdiri dari perusahaan multinasional, nasional dan perusahaan daerah.

Selain itu, Kedaireka saat ini sedang mendorong kolaborasi dengan lembaga internasional melalui diaspora Indonesia, di antaranya dengan CSIRO, sebuah lembaga penelitian di Australia, kata dia.

Secara total, sudah ada 20.548 pengguna yang terdaftar di platform Kedaireka, 1050 proposal matching fund dengan total nominal yang diajukan sebesar Rp1,4 triliun dan kontribusi industri sebesar Rp1,1 triliun.

Baca juga: Temui Atdikbud, BBI Canberra ungkap tantangan promosi Bahasa Indonesia
Baca juga: Atase KBRI Canberra: Manusia Indonesia harus kreatif, solutif

Pewarta: Azis Kurmala
Editor: Anton Santoso
Copyright © ANTARA 2021