Jakarta (ANTARA) - Lembaga Destructive Fishing Watch (DFW) menyayangkan langkah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang membatalkan rencana patroli bersama dengan Pasukan Perbatasan Australia (ABF) terkait penenggelaman tiga kapal nelayan Indonesia.
Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, Moh Abdi Suhufan dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa, mengatakan bahwa KKP mestinya melihat fakta bahwa masih ada praktik IUUF atau penangkapan ikan ilegal yang dilakukan oleh nelayan Indonesia di laut Australia.
"Kejahatan IUUF membutuhkan kerjasama antar negara, Indonesia telah memeloporinya sejak lama sehingga membatalkan patroli bersama adalah upaya kontraproduktif," kata Abdi.
Dalam membasmi IUUF, lanjutnya, posisi Indonesia menjadi dilema sebab menjadi korban dan sekaligus pelaku. "Di utara kita menjadi korban dan di selatan kita menjadi pelaku," kata Abdi.
Baca juga: KKP tunda patroli bersama dengan Pasukan Perbatasan Australia
Atas tindakan keras yang diambil oleh otoritas Australia, pihaknya mendukung dan meminta KKP menindaklanjuti dengan melakukan pengawasan dan patroli bersama di laut perbatasan Indonesia-Australia.
Sementara itu peneliti DFW Indonesia, Asrul Setyadi menerangkan bahwa masalah nelayan pelintas batas oleh nelayan Indonesia terjadi di wilayah Australia dan Papua Nugini. "Sayangnya selama ini KKP hanya fokus pada pengawasan dan patroli di Natuna, sehingga melupakan perbatasan kita dengan Australia dan Papua Nugini," kata Asrul.
Asrul menambahkan bahwa karakteristik nelayan yang melakukan penangkapan ilegal di Asutralia adalah kapal kecil dan tradisional dengan target tangkapan teripang dan lola.
Baca juga: Bakamla diperkuat kapal patroli tercepat di Indonesia
Asrul menduga ketertarikan nelayan Indonesia melintas batas untuk mencari teripang dan lola karena komoditas tersebut memiliki harga yang mahal sementara ketersediaan di Indonesia sangat kurang.
"KKP perlu memikirkan kegiatan budidaya teripang dan lola di Kawasan-kawasan konservasi dengan memberdayakan nelayan yang punya keterampilan melakukan penangkapan teripang” kata Asrul.
Ia juga mengemukakan, klaim aparat Australia bahwa mereka yang ditangkap adalah residivis, artinya mereka telah berulang kali melakukan praktk tersebut sehingga solusinya harus dengan pendekatan ekonomi.
Sebagaimana diwartakan, KKP memberikan respons tegas kepada otoritas Australia terkait dengan pembakaran terhadap tiga kapal nelayan Indonesia, dengan menunda kegiatan patroli bersama KKP dengan Pasukan Perbatasan Australia.
"Ini respon atas perkembangan yang terjadi, patroli bersama Jawline-Arafura akan kami tunda," kata Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP), Laksamana Muda TNI Adin Nurawaluddin, dalam siaran pers di Jakarta, Senin (8/11).
Ia mengemukakan bahwa Jawline-Arafura sendiri merupakan patroli bersama ABF dan Ditjen PSDKP KKP yang dilaksanakan di perbatasan Indonesia-Australia. Operasi tersebut menggerakkan aset kapal pengawas dan pesawat pemantau yang dimiliki oleh kedua pihak dalam rangka penanganan kerawanan di wilayah perbatasan kedua negara.
"Harusnya minggu ini dilaksanakan, namun dengan perkembangan yang ada saat ini, kami menunggu penjelasan resmi dari pihak ABF," ujar Adin.
Adin menyampaikan bahwa penjelasan dari ABF ini penting untuk menghindari kesimpangsiuran informasi terkait dengan identitas ketiga kapal yang dibakar maupun 13 kapal lainnya yang diusir dari perairan Australia.
Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2021