Berkendara dengan kecepatan 150 km/jam, sama dengan 150.000 meter/3.600 detik, sementara reaksi mata butuh dua detik untuk mempersepsi dan bereaksi

Jakarta (ANTARA) - Direktur Training & Campaign Indonesia Road Safety Partnership Eko Reksodipuro mengungkapkan faktor yang perlu diperhatikan pengemudi saat melaju di jalan tol, terutama lintasan panjang, seperti rute Jakarta-Surabaya.

"Kesalahan kecil di jalan tol dapat mengakibatkan kecelakaan fatal, bahkan dapat merenggut korban jiwa," katanya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa.

Faktor paling utama, menurut Eko, pengemudi harus sadar akan batas kemampuannya. Mengemudi di jalan tol tidak sama dengan pembalap di sirkuit yang bebas melakukan manuver dengan kecepatan tinggi.

Jalur cepat, misalnya, bukan jalur untuk dilalui. Itu hanya untuk mendahului, setelah menggunakannya pengemudi harus kembali ke lajur 2 atau 1 dan itu harus mencapai kecepatan maksimal, katanya.

Eko mencontohkan sering kali kebiasaan berkendara di tol dalam kota terbawa saat berkendara di tol luar kota, saat pengemudi maunya paling depan sendiri atau cenderung enggan diserobot, sehingga nampak seperti selfish atau mau menang sendiri.

Tak jarang pengemudi juga mengalami eforia saat berkendara di luar kota dari dalam kota, sehingga overspeed, katanya.

"Padahal, berkendara dengan kecepatan 150 km/jam, sama dengan 150.000 meter/3.600 detik, sementara reaksi mata butuh dua detik untuk mempersepsi dan bereaksi," katanya.

Pada prinsipnya, kata Eko, menyusul secepat mungkin itu tidak berbahaya, asalkan pengemudi sadar untuk kembali ke lajur 2 ataupun 1.

Ia sangat tidak merekomendasikan untuk terus berada di lajur 3 lantaran akan mengganggu pengguna jalan lain dan berpotensi mengakibatkan kesalahan kecil yang dampaknya tidak dapat diprediksi.

"Ke depan tuh tiga detik, terus jangan bersebelahan, apalagi bersebelahan dengan kendaraan berat. Pengemudi harus bisa memutuskan mau nyusul atau tidak, jangan jalan berdampingan. Seperti PPKM saja, jadi, di jalan raya kita juga harus social distancing," katanya.

Terkait kelaikan infrastruktur jalan tol, katanya, dapat dipastikan telah memenuhi standar yang berlaku, karena setiap fasilitas yang diterapkan di jalan tol telah memperhatikan risiko fatalitas ketika terjadi kecelakaan.

Misalnya, pada penerapan pagar pembatas beton pada sisi jalan, atau pagar pemisah di jembatan, yakni untuk memperkecil risiko kendaraan menyeberang ke jalur yang berlawanan.

"Kita harus sadar dengan batas kemampuan diri, dari sisi pengemudi harus sadar dengan batas kemampuannya, karena setiap orang tidak punya kemampuan yang sama, jadi ada awarness," kata Eko.

Menurut dia, pesatnya pembangunan infrastruktur, khususnya jalan tol belakangan kian memudahkan masyarakat dalam beraktivitas, terutama aktivitas yang mengharuskan masyarakat berpindah dari suatu tempat ke tempat lainnya dengan waktu yang relatif lebih cepat dibanding melintasi jalur konvensional.

Menurut catatan, dengan melintasi Tol Trans-Jawa, pengemudi membutuhkan waktu hanya 9 jam 43 menit untuk menamatkan rute Jakarta-Surabaya dengan rata-rata kecepatan 60-100 km/jam.

Sementara uji coba lain harus bersusah payah menempuh waktu 15 jam 41 menit untuk menuju lokasi yang sama melintasi jalur konvensional. Tentunya, dengan istirahat yang cukup di beberapa pusat pemberhentian.

Sayangnya, kata Eko, kemudahan demi kemudahan yang ditawarkan jalan tol tidak dibarengi dengan kesadaran pengemudi akan pentingnya berbagai faktor yang kebanyakan dianggap sepele, di antaranya batas minimal kecepatan, dan imbauan untuk beristirahat di titik-titik tertentu untuk mengurangi masalah konsentrasi yang kebanyakan disebabkan oleh faktor kantuk yang menyerang.

Baca juga: Hindari kecelakaan, begini etika berkendara di jalan tol
Baca juga: Pentingnya perhatikan kecepatan mobil saat bawa anak kecil
Baca juga: Pemerintah telah gelontorkan Rp10,89 triliun untuk Tol Trans Sumatera

Pewarta: Ahmad Buchori
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2021