"Substansi RUU tersebut tidak melindungi hak-hak masyarakat atas kepemilikan tanah. Dan ini cukup berpotensi melahirkan konflik pertanahan," ujar Direktur Eksekutif Walhi Aceh TM Zulfikar di Banda Aceh, Rabu.
Pernyataan itu disampaikannya pada rapat dengar pendapat umum (RDPU) RUU pengadaan tanah untuk pembangunan dengan sejumlah anggota DPR di Banda Aceh.
Adapun anggota DPR yang hadir, yakni M Nasir Djamil (FPKS), Nurul Arifin (FPG), Honning Sanny (FPDIP), Irvansyah (FPDIP), HTB Soemandjaya (FPKS), A. Taufan Tiro (FPAN) dan AW Thalib (FPPP).
Ia menyebutkan, berdasarkan kajian Walhi Aceh bersama komponen lainnya, ada beberapa pasal dalam RUU tersebut menjadi pemicu konflik pertahanan.
Seperti, sebut dia, pasal 6 dan pasal. Pasal 6 menyatakan bahwa pihak yang berhak, wajib melepaskan tanahnya pada saat pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
Kemudian, kata dia, dalam pasal 9 menyatakan bahwa pihak yang berhak dan objek pengadaan tanah untuk kepentingan umum tunduk dan terikat pada ketentuan dalam undang-undang tersebut.
"Pengertian kepentingan umum dalam pasal tersebut tidak jelas. Ketidakjelasan ini dikhawatirkan melahirkan sengketa tanah, terutama tanah masyarakat adat karena tidak memiliki dokumen tertulis," ujarnya.
"Pasal 6 dan 9 ini tidak sesuai dengan Deklarasi PBB tentang hak-hak masyarakat adat yang disetujui Pemerintah Indonesia pada September 2007," tukasnya.
Memang, kata dia, pengadaan tanah untuk pembangunan perlu diatur dalam sebuah undang-undang. Namun, pengaturannya harus menjamin hak masyarakat.
"Kami berharap undang-undang menjadi instrumen mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia, terutama saat masyarakat melepaskan hak tanahnya untuk pembangunan," pungkas TM Zulfikar. (HSA*BDA1/K004)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011