Pada saat yang sama, Dirjen badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengkoordinir keamanan nuklir global itu, pada Senin mengingatkan bahwa kerangka tanggap darurat internasional terhadap kecelakaan reaktor nuklir harus ditetapkan ulang, menyusul terjadinya insiden reaktor Daiichi Fukushima.
"Tidak ada keraguan bahwa krisis ini akan diatasi secara efektif. Alam bisa ganas. Tapi manusia adalah makhluk yang berani dan tangguh, seperti yang telah ditunjukan orang-orang yang terkena tsunami dalam 10 hari terakhir ini," kata Yukiya Amano, seperti dikutip dari pusat media PBB di New York.
Keyakinan itu diutarakan Amano dalam sidang darurat Dewan Gubernur di markas IAEA di Wina, Austria, Senin, beberapa waktu setelah ia kembali dari lawatannya ke Jepang dalam rangka meninjau situasi setelah terjadinya insiden reaktor Fukushima.
Pada saat yang sama, Amano melihat bahwa situasi di pembangkit tenaga nuklir Daiichi Fukushima pasca gempa bumi dan tsunami di Jepang masih sangat serius kendati sudah mulai terlihat adanya perkembangan positif.
Ia mencatat tingkat kontaminasi yang terukur di sekitar lokasi reaktor masih tinggi. Amano juga menyadari adanya kekhawatiran dari jutaan orang di Jepang dan di negara-negara tetangga serta kemungkinan bahaya setelahnya menyangkut kesehatan manusia, pencemaran lingkungan dan resiko terhadap pangan.
Tim ahli IAEA yang monitor radiasi dari Tokyo dan lokasi-lokasi yang berdekatan dengan reaktor Fukushima dilaporkan telah mulai mengirimkan kembali pengukuran-pengukuran yang mereka lakukan ke markas IAEA di Wina.
Dalam kunjungannya di Jepang, Amano melakukan pertemuan dengan Perdana Menteri Naoto Kan, sejumlah menteri kabinet, Badan Keamanan Industri dan Nuklir (NISA) serta pihak Tokyo Electric Power Company (TEPCO), perusahaan yang mengoperasikan reaktor Fukushima.
Sementara itu, menyusul terjadinya insiden Fukshima, Yukiya Amano mengingatkan agar kerangka tanggap darurat internasional perlu ditetapkan kembali dan komunikasi semakin ditingkatkan.
Kerangka tanggap darurat yang ada saat ini, ujarnya, adalah kerangka yang dibentuk terutama setelah tragedi Chernobyl tahun 1986 di Uni Soviet --yang disebut-sebut sebagai bencana nuklir yang terbesar berdampak terhadap warga sipil-- serta sebelum munculnya dampak dari revolusi di bidang informasi.
"(Kerangka) ini mencerminkan realitas pada era 1980-an, bukan abad ke-21," katanya. (TNY/K004)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011