...tetap menggunakan bahan bakar fosil sangat riskan…
Glasgow (ANTARA) - Berkali-kali dalam konferensi iklim PBB (COP26) di Glasgow, Skotlandia, para pemimpin dunia menekankan perlunya membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat Celsius.
Dalam Perjanjian Paris 2015, negara-negara berkomitmen untuk membatasi rata-rata kenaikan suhu global menjadi di bawah 2 derajat Celcius (2C) di atas level pra-industri, dan menargetkan 1,5 derajat (1.5C).
Para ilmuwan telah mengatakan bahwa melewati batas 1.5C berisiko melepaskan efek perubahan iklim pada manusia, alam dan ekosistem.
Mencegah hal itu terjadi memerlukan hampir separuh emisi karbon (CO2) dari level 2010 dan memangkasnya hingga nol bersih (net zero) pada 2050 --sebuah tugas ambisius yang diperdebatkan para ilmuwan, donor, negosiator, dan aktivis di COP26 tentang cara mencapainya dan membiayainya.
Tapi apa perbedaan antara 1.5C dan 2C dalam konteks pemanasan global? Inilah penjelasan sejumlah ilmuwan.
Baca juga: Yayasan TERANGI: Terumbu karang spesies penting atasi pemanasan global
Posisi Kita Sekarang
Bumi sudah menghangat sekitar 1,1 derajat Celsius di atas level pra-industri. Empat dekade terakhir kita mengalami suhu yang lebih panas dari dekade mana pun sejak 1850, periode akhir Revolusi Industri pertama (1750-1850).
"Kita tak mengalami pemanasan global seperti ini hanya beberapa dekade saja," kata peneliti iklim Daniela Jacob di Pusat Layanan Iklim Jerman.
"Setengah derajat kenaikan suhu membawa lebih banyak cuaca ekstrem, dan itu bisa terjadi lebih sering, lebih intens, atau durasinya lebih panjang."
Tahun ini saja, hujan lebat merendam China dan Eropa Barat dan menewaskan ratusan orang. Ratusan lainnya tewas ketika temperatur di Barat Laut Pasifik mencapai rekor tertinggi.
Pada tahun ini pula es di Greenland mencair secara masif, kebakaran hutan melalap Mediterania dan Siberia, dan kekeringan terparah melanda sejumlah wilayah di Brazil.
"Perubahan iklim sudah mempengaruhi setiap wilayah yang dihuni manusia di seluruh bumi," kata ilmuwan iklim Rachel Warren di Universitas East Anglia.
Baca juga: Menilik dampak ekstrem pemanasan global di Maluku
Panas, Hujan, dan Kekeringan
Kenaikan suhu hingga 1.5C dan seterusnya akan memperburuk dampak kepada manusia.
"Untuk setiap kenaikan pemanasan global, perubahan ekstrem akan semakin besar," kata pakar iklim Sonia Seneviratne di ETH Zurich.
Contohnya, gelombang panas akan terjadi lebih sering dan lebih parah.
Suhu ekstrem, yang muncul sekali per dekade dalam sebuah iklim tanpa campur tangan manusia, akan terjadi 4,1 kali per dekade pada pemanasan global 1.5C dan 5,6 kali pada 2C, menurut panel sains iklim PBB (IPCC).
Jika pemanasan mencapai 4C, suhu ekstrem akan terjadi 9,4 kali per dekade.
Atmosfer yang lebih hangat juga dapat menahan lebih banyak kelembaban sehingga menyebabkan hujan ekstrem yang meningkatkan risiko banjir.
Fenomena tersebut juga meningkatkan penguapan yang menyebabkan kekeringan yang lebih intens.
Baca juga: Guru Besar IPB: Sapi berdampak pada pemanasan global
Es, Laut, dan Batu Karang
Perbedaan antara 1.5C dan 2C sangat penting bagi lautan dan wilayah beku di bumi.
"Pada 1.5C, ada peluang baik bagi kita untuk mencegah keruntuhan sebagian besar lapisan es di Greenland dan Antartika barat," kata pakar iklim Michael Mann di Universitas Negara Bagian Pennsylvania.
Kondisi itu akan membantu membatasi kenaikan permukaan laut hingga beberapa kaki sampai akhir abad ini, meskipun hal itu masih menjadi perubahan besar yang akan menggerus garis pantai, serta negara-negara pulau kecil dan kota-kota pesisir.
Namun jika kenaikan suhu melewati 2C, lapisan es akan runtuh dan permukaan laut akan naik hingga 10 meter meski belum jelas seberapa cepat hal itu akan terjadi, kata Mann.
Pemanasan 1.5C akan menghancurkan sedikitnya 70 persen batu karang, namun pada 2C, 99 persen batu karang akan hilang.
Kondisi itu akan memusnahkan habitat ikan dan masyarakat yang tergantung pada karang sebagai sumber makanan dan mata pencaharian.
Baca juga: Responsif perubahan iklim, MedcoEnergi komitmen hasilkan energi hijau
Pangan, Hutan, dan Penyakit
Pemanasan 2C juga akan meningkatkan dampak terhadap produksi pangan.
"Jika gagal panen terjadi bersamaan di sejumlah wilayah penghasil pangan di dunia, maka Anda akan melihat lonjakan harga pangan dan kelaparan di mana-mana," kata ilmuwan iklim Simon Lewis di Universitas College London.
Dunia yang lebih panas akan menjadi sarang nyamuk yang membawa beragam penyakit seperti malaria dan demam berdarah di wilayah yang lebih luas.
Namun pemanasan 2C akan membuat sebagian besar serangga dan hewan kehilangan habitatnya dan meningkatkan risiko kebakaran hutan yang mengancam kelangsungan alam.
"Titik Kritis"
Ketika suhu semakin panas, bumi lebih berisiko untuk mencapai "titik kritis", di mana sistem planet ini menembus batas yang memicu dampak berjenjang yang tak bisa dipulihkan. Kapan titik itu tercapai belum bisa dipastikan.
Kekeringan, berkurangnya curah hujan, dan penghancuran berkesinambungan pada Amazon lewat deforestasi, contohnya, akan meruntuhkan sistem hutan hujan. Kondisi itu akan melepaskan karbon ke atmosfer ketimbang menyimpannya.
Pemanasan lapisan tanah beku (permafrost) di Kutub Utara bisa menyebabkan biomassa yang lama membeku terurai, melepaskan emisi karbon yang sangat besar.
"Itulah kenapa tetap menggunakan bahan bakar fosil sangat riskan… karena kita meningkatkan peluang untuk mencapai salah satu titik kritis tersebut," kata Lewis.
Baca juga: Jakarta siap berkolaborasi dengan London memperkuat ketahanan iklim
Di Luar Batas 2C
Sejauh ini, komitmen iklim yang disampaikan negara-negara kepada PBB menempatkan bumi pada jalur pemanasan global 2,7 derajat Celsius (2.7C).
Badan Energi Internasional pada Kamis mengatakan bahwa janji-janji baru yang diumumkan pada COP26, jika terealisasi, akan menahan pemanasan global di bawah 1.8C, meskipun sejumlah pakar meragukan angka itu.
Masih perlu dilihat apakah janji-janji tersebut akan diterjemahkan ke dalam tindakan nyata.
Pemanasan 2.7C akan membawa "suhu yang tak bisa ditinggali" selama beberapa waktu dalam setahun di wilayah tropis dan subtropis.
Keragaman hayati akan berkurang drastis, ketahanan pangan anjlok, dan cuaca ekstrem akan melebihi kemampuan infrastruktur sebagian besar kota untuk mengatasinya, kata para ilmuwan.
"Jika kita mampu menjaga pemanasan tetap di bawah 2C kita mungkin masih memiliki kemampuan beradaptasi sebagai sebuah peradaban, namun pada 2.7C kita akan menghadapi kesulitan besar," kata Mann.
Sumber: Reuters
Baca juga: Ratu Elizabeth desak pemimpin dunia beraksi atasi pemanasan global
Baca juga: Hari Pangan Sedunia, Mentan minta semua siap hadapi pemanasan global
Penerjemah: Anton Santoso
Editor: Mulyo Sunyoto
Copyright © ANTARA 2021