pola baru ini bisa membuat negara-negara di mana korporasi asing besar beroperasi, memperoleh total pemasukan baru 150 miliar dolar AS (Rp2.148 triliun) per tahun

Jakarta (ANTARA) - Lima tahun silam dunia pernah diguncang skandal Panama Papers ketika orang-orang kaya yang rata-rata memiliki korporasi besar dan berkuasa, memarkir kekayaannya di wilayah yang menawarkan pajak rendah yang dikenal dengan tax haven atau surga pajak.

Awal bulan lalu kehebohan serupa muncul setelah untuk kesekian kali International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ) menerbitkan bocoran dokumen pajak terbaru, Pandora Papers, yang menyingkapkan siasat licin 35 pemimpin dunia dan mantan pemimpin dunia termasuk mantan PM Inggris Tony Blair, 330-an politisi dan pejabat pemerintah di 91 negara, para buronan, penipu, dan penjahat, serta 130-an miliarder, dalam menghindarkan pajak guna menyembunyikan kekayaannya.

Yang istimewa dari Pandora Papers adalah skandal ini diekspos tidak lama dari tercapainya konsensus global yang beberapa pekan kemudian disepakati para pemimpin Kelompok 20 atau G20, mengenai minimal 15 persen pajak untuk korporasi besar.

Kedua peristiwa itu tak ada hubungannya, tetapi keduanya mengekspos surga pajak dalam perspektif yang bertolak belakang.

Bagi mereka yang disebut dalam Pandora Papers, surga pajak adalah tempat yang membuat mereka leluasa menyembunyikan kekayaannya di wilayah yang menerapkan pajak rendah yang kebanyakan melulu mementingkan arus modal masuk atau capital inflow tanpa mempedulikan asal dan bentuk kapital yang masuk itu.

Penikmat surga pajak bukan hanya individu-individu kaya dan berkuasa, tapi juga korporasi-korporasi besar yang biasa disebut perusahaan multinasional.

Sebaliknya, bagi bagian terbesar dari 136 negara yang menyepakati konsensus keuangan global itu, surga pajak adalah petaka yang mengikis kemampuan ekonomi nasional dan menciptakan ketimpangan dalam praktik bisnis karena bagian terbesar keuntungan mengalir kepada pemegang saham dan pemilik, bukan kepada pekerja.

Lain dari itu, pajak yang semestinya mengalir ke negara di mana perusahaan asing itu beroperasi, malah parkir di negara lain yang menawarkan pajak rendah yang mereka jadikan kantor pusat atau kantor cabang utama regionalnya.

Oleh karena itu, boleh dibilang konsensus minimal pajak 15 persen untuk perusahaan global itu adalah pakta ekonomi internasional paling penting abad ke-21 karena bisa mendorong perekonomian menjadi lebih berorientasi pekerja, selain mendistribusikan kembali secara adil pendapatan swasta ke wilayah di mana mereka mencetak laba, bukan lagi melulu ke wilayah atau sistem pajak lain di mana perusahaan yang mencetak laba itu berkantor pusat.

Yang lebih menggugah dari prakarsa itu adalah semangat kolektif dunia dalam menerapkan sistem pajak yang adil, bukan lagi mendorong terciptanya sebuah sistem ultra-nasionalistis di mana negara-negara berlomba menurunkan tarif pajak hanya demi capital inflow yang membuat satu negara beruntung di atas kerugian dan penderitaan negara lain.


Baca juga: Anggota DPR: Pandora Papers ungkap skema penghindaran pajak
Baca juga: Anwar Ibrahim usul Pandora Papers diperdebatkan di parlemen


Selanjutnya: Ketimpangan pajak global

Copyright © ANTARA 2021