Jakarta (ANTARA News) - Pernahkah rumah Anda kebobolan maling dan kemudian Anda malu karena merasa tidak punya apa-apa yang layak untuk diambil maling itu? Kalau belum pernah, berarti Anda tak seperti Mullah Nasruddin Hoja, tokoh sufi legendaris yang terkenal lucu itu.
Suatu malam, ketika Mullah Nasruddin sedang sendirian di rumahnya, dari balik jendela ia melihat sesosok manusia yang mencurigakan hendak masuk rumahnya. Nasruddin tahu bahwa rumahnya itu bakal kemasukan sang tamu tak diundang itu. Jangankan bersiap-siap menghadapi sang maling, Nasruddin malah cepat-cepat bersembunyi di sebuah kotak.
Permasalahannya Nasruddin merasa malu, pasti nanti sang tamu tak diundang itu kecewa, tak menemukan satu benda berharga pun yang layak dicuri. Ketika maling itu mencari-cari sesuatu, memang tak menemukan apa-apa.
Kemudian maling itu mendekati kotak tempat Nasruddin bersembunyi. Begitu dibuka, kepala Nasruddin langsung nongol sedemikian rupa. Pencuri kaget, langsung kabur.
Dalam batas-batas tertentu saya pernah mengalami hal itu.
***
Beberapa hari yang lalu, sekitar habis maghrib, rumah saya kemasukan tamu tak diundang yang masuk menerobos melalui atap. Pencuri itu mengangkat genting dan masuk melalui plafon. Ia lihai dan leluasa sekali, karena di rumah sedang tidak ada orang.
Rumah saya lebih rendah ketimbang dua rumah yang mengimpitnya. Rumah saya itu sejak awal berdiri di perumahan pada 1980-an, sampai sekarang relatif belum pernah diutak-atik alias direkayasa ulang. Ia kelihatan konvensional ketimbang rumah-rumah sekitarnya yang sudah lebih modern bertingkat.
Karena lebih rendah dan mudahnya peluang orang naik ke genting, maka saya kira itulah yang membuat pencuri nekad masuk. Saya menduga, bukan kok, pertimbangannya saya kaya (kecuali kaya monyet hehe), tapi memang ada peluang. Seperti kata Francis Bacon, “opportunity makes a thief”.
Peluang, ya, itulah yang sering dikatakan para kriminolog. Orang yang tak jahat pun manakala melihat peluang untuk mencuri, maka bisa-bisa mencurilah ia. Apalagi kalau orang itu memiliki keahlian yang selaras. Mungkin benar Theodore Roosevelt ketika mengatakan, “a man who has never gone to school may steal from a freight car, but if he has a university education, he may steal the whole railroad”.
Ketika saya dan keluarga pulang, lemari sudah acak-acakan. Ya, tentu saja kalau yang dicari benda-benda berharga, tak adalah. Istri saya tidak terbiasa memakai perhiasan, atau aksesoris-aksesoris lain, bahkan jam tangan sekalipun. Demikianpun saya, aksesoris yang melekat dikulit saya cuma kacamata. Itupun fungsional. Bukan untuk gengsi.
Uang juga tidak ada, kecuali uang-uangan anak-anak, yang dikira uang asli. Ada beberapa mainan anak-anak yang diambil, dan karena mungkin tak menemukan apa-apa yang signifikan untuk diambil, pencuri segera kabur.
Rumah saya penuh buku, dan karena mungkin sang pencuri kurang intelek, maka sama sekali tidak memprioritaskan untuk mengambil buku-buku itu.
Untungnya (sudah kecurian kok untungnya), barang-barang yang diambil oleh sang tamu tak diundang itu, tak seberapa nilainya. Bukan soal nilainya yang membuat kami kaget, melainkan mengapa sampai kebobolan kedatangan pencuri dari jenis bangsa manusia di rumah saya.
BTW, dari pengalaman itu sistem pertahanan dan keamanan rumah saya, saya tingkatkan dengan antisipasi kecil-kecilan alias tambal sulam. Tidak dengan membongkar dan meninggikan rumah, karena biaya untuk itu tentu bakal tidak karuan.
Orang yang nekad mencuri itu, tampaknya memang sedang butuh uang. Mungkin untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya yang makin berat. Hidup yang memang menuntut mereka untuk kenyang perutnya. Seperti kata novelis Pearl S Buck, “hunger makes a thief of any man”.
Tapi mungkinkah ia demikian, sehingga seperti kata Cat Stevens alias Yusuf Islam, “a person who steals bread during a famine is not treated as a thief.” Bahwa yang mencuri roti ketika ia sedang kelaparan, tak layak diperlakukan sebagai pencuri?
***
Saya jadi ingat obrolan-obrolan banyak orang tentang pembalakan liar (illegal logging) dan pencurian ikan ilegal (illegal fishing) di negara kita, yang setidaknya mengkonfirmasikan bahwa Indonesia pun ibarat rumah yang masih begitu gampang dimasuki pencuri –baik pencuri dari luar atau pun dari dalam.
Bahkan sering ada cerita yang seram-seram bahwa baik pencuri dari luar atau pun dari dalam itu sudah bekerjasama secara rapi. Indonesia tentu negara kaya. Rumah kita itu, sesungguhnya sangat kaya. Kita punya lautan luas dengan berbagai jenis hasil tangkapan. Hutan tropis kita juga menggoda untuk dieksploitasi.
Seperti rumah saya, Indonesia kelihatannya masih demikian gampang dipetakan orang. Di era kecanggihan teknologi penginderaan jauh via satelit dewasa ini, bahkan kolam renang belakang di rumah Anda pun terlihat jelas dari atas.
Aneka jenis potensi tetambangan juga sudah terproyeksikan dengan jelas, dan semua pihak bisa mengakses via kecanggihan teknologi itu. Juga peta hutan kita, mana yang masih tumbuh lebat, mana pula yang sudah “profesor” alias pinggirnya kelihatan lebat, tengahnya botak.
Maka, segeralah muncul banyak pertanyaan orang biasa: bagaimana negara dapat menjamin kedaulatan wilayah negara kita di setiap jengkal tanah dan air pulau-pulau terdepan kita? Bagaimana aparat negara mampu menangkal pencurian kayu di hutan luas atau ikan di lautan lepas? Bagaimana menghadapi kejahatan-kejahatan transnasional?
Tentu saja sudah banyak tesis dan diskusi mengenai hal-hal semacam itu. Dan kita harus mengakui bahwa masih banyak keterbatasan. Wilayah negara kita tergolong superluas. Pencuri bisa masuk melalui banyak celah yang tak terjaga.
Kita malu kedatangan pencuri, tetapi bukan malu versi Nasruddin di atas. Kalau Nasruddin malu karena tak punya apa-apa yang bisa dicuri, kita malu karena saking kayanya kita, tetapi kemampuan untuk menjaga benda-benda berharga kita itu masih sangat terbatas.
Ada yang mengkritik atau melancarkan otokritik begini: kita ini miskin di negeri kaya, kita ini gelandangan di rumah sendiri, kita ini kaya dan tahu kalau kaya (secara potensial) tapi tidak tahu caranya menjadi kaya (secara nyata). Kita belum mampu membuat benda berharga yang kita pegang dapat bernilai tambah.
Dan karena faktor miskin mental, benda-benda seni yang tak ternilai pun dijual oleh penjaga museum (ingat tidak kasus penjualan patung sebuah museum di Surakarta oleh kepala museumnya sendiri beberapa tahun yang lalu?).
Mungkin “budaya Timur” membuat kita terlalu sopan dalam meladeni pencuri dengan mempersilakan sang pencuri memilih sendiri apa yang dimaui. Lantas kita antarkan sang pencuri untuk melakukan aktivitasnya dengan aman terkendali. Dan begitu sang pencuri mendapat sesuatu yang banyak dan puas, kita ikut bangga dan puas.
Juga barangkali kita tanpa sadar suka memperlempang jalan para koruptor. Bahkan, secara tak sadar pula seolah-olah mengatakan, silakan lho Pak, Bu koruptor silakan korupsi sebanyak-banyaknya, asal tak lupa sama saya. Jangan lupa teori trickle down effect-nya dipraktikkan! Jangan lupa sedekahnya!
Salah kaprah memang.
Padahal korupsi itu sendiri cermin dari tidak saja mentalitas orang yang culas, tetapi juga tindakan orang kalah, orang yang cepat menyerah, orang berpikir pendek dan superpragmatis. Mentalitas korupsi melebihi mental pencuri konvensional. Penjahat kerah putih (white-collar crime), lebih canggih ketimbang jambret di pinggir jalan.
Istilah penjahat kerah putih dipopulerkan oleh Edwin Sutherland (1939) sebagai “a crime committed by a person of respectability and high social status in the course of his occupation”. Cara mereka beroperasi tidak konvensional, lebih interpersonal, dan butuh keahlian tingkat tinggi. Bandingkan coba dengan istilah “maling ayam”, atau “maling sandal”, lebih keren mana?
Yang maling ayam atau maling sandal itu, karena terlalu fisikal, masuk ke kategori penjahat kerah biru, merujuk definisi berikut “blue-collar crime tends to be more obvious and thus attracts more active police attention (e.g. for crimes such as vandalism or shoplifting, where physical property is involved)”.
***
Dalam sebuah diskusi dengan Dr. Ikhsan Modjo di Warung Daun, Cikini beberapa waktu lalu, saya sebagai narasumber bidang politik sempat menimpali pertanyaan seorang peserta, yang kebetulan berlatar belakang pengusaha Warteg.
Ia meminta tanggapan soal perlunya kejujuran. Banyak yang tak jujur dengan menjarah harta negara, menjarah hak rakyat. Itulah yang menyebabkan Indonesia terhambat kemajuannya.
Saya mengatakan soal maling atau lebih canggih lagi koruptor sejak dulu ada. Seperti novelnya Sunaryo Basuki Ks, “Maling Republik”, bahkan pada zaman revolusi pun ada yang berprofesi maling. Walaupun, maling dalam novel itu kemudian tobat dan berjuang untuk Republik.
Dari situ setidaknya ada tiga hal menarik: (1) malingnya itu sendiri ; (2) proses pertobatannya ; dan (3) kaitannya dengan kepentingan nasional. Ada proses transformasi dari maling untuk perut sendiri ke perjuangan untuk kepentingan nasional yang lebih luas.
Saya tidak mengajurkan agar ada banyak Robin Hood atau Berandal Lokajaya atau tokoh-tokoh dalam legenda pencuri yang berhati mulia, karena membagikan barang curiannya ke rakyat miskin. Kalau mau memberi sesuatu kepada rakyat yang miskin harus tidak dengan mencuri –betapapun sistemnya membuat peluang untuk mencuri sangat terbuka.
Kalau mau kasih ke orang, mending dari uang hasil kerja kita, keringat kita. Kerja secara benar dan wajar. Bukan kerja yang merendahkan harga diri atau sebaliknya terlalu percaya diri untuk berbuat tak senonoh dan tidak wajar.
Bagian yang menarik justru adalah kisah-kisah transformatif: pertobatan mantan pencuri yang kemudian berbalik menjadi sosok yang gemar berbuat maslahat, buat kepentingan masyarakat dan kemajuan bangsa. Mungkin ibaratnya sosok-sosoknya seperti kiai yang mantan pencuri, bukan pencuri yang mantan kiai. Wallahua’lam. (***)
*M Alfan Alfian, Mengajar di Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta.
Oleh Alfan Alfian
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2011