Jakarta (ANTARA) - Penguatan implementasi regulasi merupakan salah satu cara untuk mengendalikan peredaran antibiotik di masyarakat, menurut Guru Besar Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FKKMK) Universitas Gadjah Mada, Prof. dr. Tri Wibawa, PhD, SpMK(K).
Hal itu dilatarbelakangi oleh seringnya antibiotik diberikan tanpa resep atau petunjuk penggunaan yang benar di Indonesia, yang bisa menjadi pemicu angka resistensi antimikroba (AMR).
Baca juga: Penjualan antibiotik tanpa resep faktor pemicu AMR
"Untuk mengatasi hal tersebut, penguatan implementasi regulasi merupakan salah satu cara untuk mengendalikan peredaran antibiotik di masyarakat yang dapat berlaku sebagai pemicu resistensi antibiotik," kata Prof. Tri dalam seminar web, Jumat.
Namun, ia menambahkan bahwa upaya tersebut saja tidak cukup untuk menyelesaikan keseluruhan masalah resistensi antimikroba. Menurut Prof. Tri, pendekatan multi aspek perlu dilakukan untuk menyelesaikan persoalan ini.
"Pendekatan multi aspek, dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang menjadi pendorong praktik penjualan antibiotik tanpa resep ini. Seperti motivasi untuk memaksimalkan keuntungan dari toko-toko obat, tingginya permintaan antibiotik dari pelanggan, dan dorongan dari pemilik untuk bersaing dengan toko lainnya," paparnya.
Di Indonesia, Prof. Tri mengatakan antibiotik dipercaya sebagai obat yang manjur untuk segala jenis penyakit; mulai dari demam sampai nyeri sendi. Antibiotik pun dapat dibeli di apotek, toko obat, dan bahkan warung yang tersebar di seluruh Indonesia.
Baca juga: Antibiotik bisa selamatkan nyawa asalkan sesuai indikasi
"Masyarakat seringkali membeli obat di tempat-tempat ini sebagai bentuk pertolongan pertama pada penyakit ringan karena letaknya yang strategis, terpercaya, dapat diperoleh pada malam hari, dan memberikan akses yang mudah kepada obat-obatan esensial seperti antibiotik," kata dia.
Selain itu, obat-obat ini seringkali dijual tanpa resep. Pasien menganggap bahwa pengobatan mandiri dengan membeli obat di apotek atau toko obat lebih mudah dan hemat biaya.
"Hal ini merupakan salah satu faktor yang membuat permintaan antibiotik sangat tinggi. Di sisi lain, antibiotik dapat dibeli dengan mudah, sehingga dapat menjadi pemicu berkembangan Antimicrobial Resistance (AMR) di Indonesia," kata Prof. Tri.
Berdasarkan Studi Protecting Indonesia from the Threat of Antimicrobial Resistance (PINTAR) yang telah dilakukan pada apotek dan toko obat di daerah perkotaan dan pedesaan di Indonesia, menemukan bahwa masyarakat dapat membeli antibiotik tanpa resep (proporsinya dapat mencapai dua dari tiga kunjungan).
Meskipun antibiotik lini pertama seperti amoksisilin dan kotrimoksazol adalah antibiotik yang paling banyak diberikan, ada kekhawatiran bahwa antibiotik lini kedua termasuk sefalosporin juga diberikan tanpa resep.
Hasil penelitian yang dimuat di BMJ Global Health itu juga menunjukkan bahwa konsultasi di toko obat seringkali tidak memadai. Seringkali antibiotik diberikan tanpa petunjuk penggunaan yang benar.
"Meskipun peraturan tentang penjualan antibiotik di Indonesia sudah jelas, tetapi dalam praktik, penjualan antibiotik tanpa resep ini masih banyak ditemukan di Indonesia, khususnya pada toko obat yang tidak resmi," kata Prof. Tri.
Baca juga: Antivirus COVID-19 tidak diperlukan untuk anak OTG dan gejala ringan
Baca juga: IDAI: Tidak perlu berikan antibiotik untuk pengobatan COVID-19 anak
Baca juga: Kemenkes beri tips bijak gunakan antibiotik
Pewarta: Arnidhya Nur Zhafira
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2021